Sikap Jaker atas pelarangan 'Balibo Five'


Pengurus Pusat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat – PP JAKER
Jln Tebet Dalam II G no. 1 Tebet Jakarta 12810 Telp/Fax. 021 835 45 13
pp.jaker@gmail.com http://jakker.blogspot.com
____________________________________________________________

No : 04/B/PP-Jaker/Eks/XII/09
Hal : Pernyataan sikap atas pelarangan ’BALIBO FIVE’
Lamp : -


Pada penghujung tahun 2009, kita berhadapan seolah-olah ini tahun pelarangan massal terhadap film-film, baik film nasional maupun asing. Kita tentu masih mengingat keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melarang film 2012, sebuah film fiksi karya sutradara spesialis bencana, Roland Emmerich, yang menurut lembaga UMI, film ini dapat merusak iman, sesat, dan bertentangan dengan ajaran agama soal kiamat.

Dan sekarang, Lembaga Sensor film (LSF) melarang pemutaran film “Balibo Five”, sebuah kisah nyata tentang kematian 5 orang wartawan asing saat bertugas meliput detik-detik invasi militer Indonesia ke Timor Leste tahun 1975. Setelah itu, pemerintah dan beberapa lembaga negara pun bersikap mengikuti keputusan LSF, antara lain, menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jerok Wacik.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik melarang Balibo ditayangkan secara luas di Indonesia setelah mendapat laporan dari Lembaga Sensor Film (LSF), juga setelah nonton bareng Menteri Pertahanan RI. Dan secara resmi keluar larangan LSF pada 3 September 2009 dengan alasan BALIBO FIVE memojokkan militer/TNI Indonesia.

Film BALIBO FIVE merupakan film sejarah bernilai tinggi, terutama mengenai peranan Indonesia di penghujung peran dingin. Invasi Indonesia ke Timor Leste mendapat dukungan penuh AS dan Barat, baik logistik maupun persenjataan, demi menyokong politik anti-komunisme dan mencegah Timor Leste berdaulat secara politik dan ekonomi.

Dalam film itu, diceritakan pula semangat membara dan tak kenal menyerah 5 wartawan asing—Austrialia, Selandia baru, dan Inggris—dalam meliput kejadian. Mereka bukan sekedar pencari berita, tetapi juga mencoba menarik simpati dunia—khususnya PBB—mengenai nasib jutaan rakyat Timor Leste di mulut peperangan.


Kelima jurnalis tersebut nekad menantang bahaya, DNP di basis gerakan Fretilin, dan seperti yang tampak di film betapa mereka begitu bernafsu memburu gambar atas peristiwa yang terjadi di depan mata. Mengesampingkan maut, maju ke garis depan, tak mengindahkan anjuran pasukan Fretilin yang mundur saat invasi tentara Indonesia plus milisi pro integrasi.

Menyinggung soal pelarangan film memang bukan yang pertama terjadi di Indonesia, di era Soekarno tahun 1955, SARBUFIS (Sarekat Buruh Film dan Senidrama Indonesia) melarang pemutaran film berita dan film cerita Amerika Serikat karena alasan menolak proyek nuklir, mendukung gerakan separatis PRRI-Permesta, juga terkait konfrontasi pembentukan negara Malaysia.

Pada 1964, berdirilah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang beranggotakan ormas-ormas seperti Gerwani, Lekra, Sobsi, LKN, Sarfubis, Persatuan Importir dan Distributor Film Indonesia (PIFDIN) dsb, dan melakukan aksi boikot berbentuk penempelan plakat-plakat dan seruan-seruan di bioskop-bioskop di Jakarta.

Dalam aksi itu, para pengurus SARBUFIS mengajak serta artis film untuk menghadap Gubernur Jakarta, menjelaskan bahwa aksi tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan dwikora—politik pengganyangan neokolonialisme “Malaysia” dukungan AS.

Aksi massif PAPFIAS di Jakarta dan kota-kota lain seperti Semarang, Jawa Barat, Surabaya, Sumatra Utara dan Selatan, Bojonegoro, Yogyakarta, Solo, Blitar, Madiun, Banjarmasin, Makasar, Denpasar, Sumatra Selatan, dan Bengkulu mampu mengukir sejarah, yakni pada tanggal 17 Agustus 1964 Menteri Perdagangan membubarkan American Motion Picture Association Indonesia AMPAI) yang pada masa itu jadi pemasok 70 % film-film AS di bioskop – bioskop kita.

Masa-masa perang dingin AS – Uni Soviet merambah sampai sumsum sendi kegiatan seni budaya di negara-negara yang jadi satelit/tempat baru meluaskan pengaruh ideologi komunisme dan kapitalisme.

Jadi, berdasarkan kondisi di atas dan perkembangan situasi saat ini, menurut kami, film BALIBO FIVE harus tetap ditempatkan sebagai film documenter bernilai sejarah, serta oto-kritik terhadap sejarah militerisme di Indonesia. Kita harus mengakui sejarah hitam bangsa kita di masa lalu, kemudian menegaskan tekad untuk tidak mengulaginya di masa depan. Ini merupakan prasyarat bagi penguatan demokrasi di negeri ini. Tentu demokrasi dan kemanusiaan yang akan kita bangun nanti berujung pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Kedepan, kita berharap agar tak ada lagi pelarangan seperti ini, sesuatu yang dapat menumpulkan kebudayaan bangsa. Negara harus memfasilitasi dan menggerakkan pekerja-pekerja film kita untuk berkarya tentang budaya progressif yang dimiliki bangsa ini, seperti gotong royong, anti penjajahan asing dst. Sekaligus sebagai alat mengcounter isme-isme jahat produk asing yang membuat kita terus miskin, jauh dari cita-cita menjadi bangsa besar dan maju.


Jakarta, 17 Desember 2009

Bangun Budaya Ilmiah, Demokratik, Modern dan Pro Rakyat.

Pengurus Pusat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat – PP JAKER

Tejo Priyono (ketua)
Suroso (Sekretaris Jendral)

No comments: