disini terbaring mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
yang mati terkejut
karena rumahnya di gusur
terkubur orang orang yang sepanjang –
hidupnya memburuh
terhisap!
dan menanggung hutang
gali gali
tukang becak
orang orang kampung yang berjasa
dalam setiap pemilu : terbaring
dan keadilan
masih saja hanya janji
kubaca kembali
“sejarah kita belum berubah!”
KAMPUNG
bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
anak dipisuhi ibunya
suami istri ribut ribut
mulailah sumpah serapah
kiri kanan ribut
anak anak menangis
suami istri bertengkar
silih berganti dengan radio
orang orang bergegas
rebutan sumur umum
keluar kampung menuju pabrik
pulang petang
bermata kusut keletihan
menjalani hidup tanpa pilihan
tak mengerti rumahnya di pinggir selokan
bermain dimuka genangan sampah
di belakang tembok tembok
menyumpal gang gang
berputar dalam bayang bayang
mencari tanah lapang
DI BAWAH SELIMUT
KEDAMAIAN PALSU
jangan terus tindas rakyat yang membisu
jika demikian ..
kau seperti membangun bendungan yang bakal jebol
arus menggasak
hingga tamatlah kekuasaanmu
barang mewah dan timbunan bahan makanan
jangan sanak familimu kaya karena bintang bintang pangkat
jika demikian ..
kau telah melahirkan musuh bagi anak cucumu
jangan abaikan kepentingannya
sebab tanah adalah bumi tempat ibadah kepada tuhannya
tempat memuliakan dirinya dengan kerja
jika itu kau lakukan ..
berarti telah kau tabur sendiri
iman kekacauan di negeri ini
jangan coba membuat ketentraman dengan penuh dengan ancaman
berarti kau telah menggugah
raksasa yang tidur di bawah
selimut kedamaian palsu
maka pada saat itulah
sejarah kembali akan membacakan
kisah kisah tirani:
“Yang Harus Diturunkan!”
BUNGA DAN TEMBOK
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami kami bunga
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
dimanapun
tirani harus tumbang!
(1987-1988)
AYOLAH .. WARSINI
warsini ! .. warsini !
apa kamu sudah pulang kerja Warsini
apa kamu tak letih seharian berdiri di pabrik
ini sudah malam Warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi
karena majikanmu curiga kamu membawa bungkusan moto
atau apakah kamu mampir di salon lagi
berapa utangmu minggu ini
apa kamu bingung hendak membagi gaji
ayolah warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul lagi disini
kita akan latihan drama lagi
ayolah Warsini
kamu nanti biar jadi mbok bodong
si Joko biar menjadi rentenirnya
jangan malu warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
biar kamu cuma buruh
dan SD saja tak tamat
ayolah Warsini
mas Yanto juga tak sekolah Warsini
iapun cuma tukang plitur
mami juga tak sekolah
kerjanya mbordir sapu tangan di rumah
wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat bayar uang pangkal sma
partini penjahit pakaian jadi
di perusahaan milik tante Lili
kita sama sama tak sekolah Warsini
ayolah warsini
ini sudah malam Warsini
ini malam minggu warsini
kami sudah menunggu di sini
(Surakarta 9/1986)
AKU MASIH UTUH DAN
KATA KATA BELUM BINASA
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk untuk penguasaa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
CATATAN
gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-dendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat saat pergi
dan pipi kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
aku tak ada (seminggu sudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari yang kalian harapkan)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
mungkin tengah malam ini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
karena hak telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun mereka masuki
muka kita sudah diinjak
dan aku jarang pulang
katakan ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi di paksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang kau cari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya yang dirampas dan dicuri
(15 Januari 1997)
DI TANAH INI
MILIKMU CUMA TANAH AIR
bulan malam membuka mataku
merambati wuwungan rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
di muka parit yang suka banjir
membayanglah masa depan
rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
lentera minyak gemetar merabamu
penggembara oh penggembara yang nyenyak
bulan malam menggigit batinku
mulutnya lembut seperti pendeta tua
menggulurkan lontaran nasibmu
o .. tanah-tanah yang segera rata
berubahlah menjadi pabrik-pabrik
kita pun kembali bergerak seperti jamur
liar di pinggir-pinggir kali
menjarah tanah-tanah kosong
mencari tanah pemukiman disini
beranak cucu melahirkan anak suku-suku terasing
yang akrab derngan peluh dan matahari
di tanah negri ini milikmu cuma tanah air
(tanpa tahun)
PUISI SIKAP
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka akan kuceritakan kepada semua makhluk
bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim
(24 Januari 1997)
TENTANG SEBUAH GERAKAN
tadinya aku pengin bilang:
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
tapi mana mungkin
kalau diam?
kutundukan kepalaku
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan dihutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu
tersebut namamu selalu
dihatiku
meneruskan pekik salammu
: a luta continua
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
dari ujian pertama yang mengguncang
kepadamu ibu-ibu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu
tapi bukan cuma anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan di adili di pengadilan
yang tidak adil ini
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu
: pembebasan!
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak nasibnya
tetapi ia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis direguknya
Tukini setia terlanjur jadi bininya
kini Darman digantungi lima jiwa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah lelaki
perkasa, ya Darman kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam penjara
Tukini setia menangisi keperkasaannya
di dalam rumah yang belum lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang kolera
nyawa di kandungan anak kelima
CATATAN SUBVERSIF TAHUN 1998
kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan-ikan di sungai
kampung tercinta
maka airmata kami
akan menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit,
jadi awan-awan
dan dengarlah gemuruh kami
sebagai hujan turun
mengusirmu dari sini!
No comments:
Post a Comment