Jalan Lingkar Kesenian Kita


Tradisi Kesenian Indonesia ( baca juga : Kebudayaan ) telah memberikan idiom-idiom penting yang seringkali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu atau suatu organisasi dalam berkesenian. Idiom-idiom tersebut : Bacaan Liar dan Bacaan Balai Pustaka, Seni untuk seni dan Seni untuk rakyat, Humanisme Universal dan Politik adalah Panglima, Realisme Sosial dan Realisme Sosialis.

Akan tetapi, semua perdebatan tentang soal-soal diatas berakhir dengan mengenaskan pasca munculnya kekuatan Orde Baru, yaitu orde yang dibangun dengan semangat reaksioner dan pembantaian pendukung-pendukung Kiri yang membuat organisasi kesenian berbasis Kiri hancur total. Orde Baru juga menyebabkan kehidupan seni dan budaya terpuruk tak karuan dibawah kepentingan-kepentingan Kapital. Mereka yang hidup, haruslah bergandengan tangan dengan kapital yang wujudnya dapat dilihat dalam pengabdian seni untuk pariwisata dan merebaknya kesenian populer bahkan pornografi. Kesenian yang serius baik di Kiri maupun di Kanan tak lagi menjadi daya tarik bagi Rakyat. Seni menjadi nista dibawah Orde Baru seperti nistanya kaum miskin kota –semi proletariat itu- yang tak lagi mempunyai pahlawan-pahlawan. Di jaman dulu kaum miskin kota ini mengenal kisah-kisah teladan semacam Joko Lelono, Joko Umboro atau bahkan Ken Arok.

Hasil-hasil seni Orde lama yang tetap hidup memunculkan tokoh Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang bisa hidup disegala jaman. Pram masih mampu mewakili seni Realisme Sosialis / Kiri walau secara individual dan sayup-sayup gerakan seni kiri di bawah orde baru mengambil bendera Seni Pembebasan, Seni Perlawanan. Orde Baru juga menciptakan istilah baru untuk perkembangan seni kita yaitu Exile (eksil?) dan non Exile.

Kini saatnya kita menghitung-hitung kembali : darimana kesenian kita mesti berangkat. Kondisi baru-Situasi baru pasca jatuhnya Soeharto menurutku adalah landasan kesenian kita untuk berangkat. Walau diketahui bahwa dibawah Orde Baru juga telah dengan susah payah dibangun berbagai organ kesenian. Tapi fakta : tak ada “ monumen “ untuk kesenian perlawanan tersebut. Semuanya tenggelam dalam perdebatan seni Orde Lama dan para pahlawannya. Seni perlawanan tak begitu besar !, kecuali orang mengenal Penyair Revolusioner – Widji Thukul dari solo itu atau Jaker yang ‘ PRD ‘ itu. Produksinya? cerpen, buku-buku, puisi, drama, teater, film, lagu, lukisan dan patung…? Ya ada alasan : Gerakan Seni Perlawanan ada di bawah ancaman moncong senjata. Tak Leluasa bergerak dan kini Soeharto jatuh. Inilah jaman baru untuk membangun Kesenian Indonesia yang Revolusioner; tradisi berkesenian baru tanpa harus melupakan tradisi seni revolusioner yang lampau.

Sebagai catatan! Seni Perlawanan yang kumaksud adalah seperti yang diistilahkan Widji Thukul seperti juga tersimpul dalam kata-katanya yanmg melegenda : “ Hanya ada satu kata : Lawan ! “. Secara komprehensif, apa itu Seni Perlawanan aku sendiri tidak paham. Waktu itu sempat tercetus bahwa Seni Perlawanan membuat beda dengan seni yang dibuat komunitas lain seperti Seni Pamflet itu punya Rendra dan Seni Perlawanan itu bertugas membangkitkan kesadaran berlawan Rakyat : dari budaya bisu ke budaya bicara, protes dan pemberontakan. Tapi Seni Perlawanan belum dapat merumuskan program dan stratak menuju budaya berlawan dan memberontak itu.

Rencana Kongres Jaker ditahun 1996 terpaksa batal karena diinterupsi oleh peristiwa 27 juli 1996, dan Jaker yang saat itu belum apa-apa, sungguh ! belum apa-apa kecuali tahapan-tahapan konsolidasi yang itupun tidak ‘ menarik ’ artinya tidak ada percepatan organisasi dan keanggotaan, ikut-ikutan juga menjadi organisasi terlarang dan beberapa orang juga ditangkap atas nama Jaker seperti David dan Brewok dari Surabaya dan Widji Thukul yang hilang yang sebentar lagi menjadi legenda.

Karena itu Konferensi Kebudayaan hari ini membuatku gembira walau telah lama tidak kubuka lembaran-lembaran seni dan budaya. Aku merasa menjadi organizer kesenian yang gagal. Tapi aku juga tahu setiap kali kawan-kawan menyebut Jaker, Antun Js selalu merasa bersalah. Andi Arief semasa PRD BT ( Bawah Tanah ) seringkali bertanya, “ Mana lagu Jaker ? masa kalah sama gilang sepatu gilang, Ole-Ole, Balonku ada lima…Benci aku! “. (Andi Arief menurutku kawan yang menaruh perhatian pada kesenian kita walau tidak suka sastra!).

Karena itu pula kedepan, kita perlulah merumuskan konsepsi berkesenian kita. Apakah nanti dibawah panji-panji Seni Perlawanan atau Seni Pembebasan atau malah kembali dibawah panji-panji Seni untuk Rakyat.


Seni dan Revolusi

Beginilah kehidupan seni!, yang oleh sejarah dia harus menjadi kawan revolusi, tapi seringkali dikatakan bahwa seni harus mengabdi pada kepentingan Revolusi. Pertanyaannya : sumbangan apa yang bisa diberikan seni kepada Revolusi –sering jatuh atau menjatuhkan seni pada tugas-tugas penghiburan seperti Roh Kudus untuk murud-murid Yesus Kristus; kalau memang tidak mau dikatakan sebagai badut (kesenian). Menurutku, agar kader-kader kesenian tidak jatuh pada tugas penghiburan, kader kesenian harus mampu membuat kesenian menjadi massal, artinya menjadi milik Rakyat. Rakyatlah yang berkesenian bukan elit seniman yang terpisah dari Rakyat punya kerja. Dengan Kata lain, kesenian haruslah menjadi gerakan yang tidak terpisah dari aktivitas gerakan Rakyat.

Sebagai contoh : Gerakan Resistensi Yahudi yang menghasilkan budaya dan gerakan membaca syair-syair Daud, atau Gerakan Pembebasan Islam Muhammad menghasilkan gerakan seni yang massal, membaca dan menyanyikan Puisi bahkan pada waktu yang sama atau seperti cerita Surya kawan kita, gerakan kesenian di Filipina menghasilkan Kursi yang bila diduduki selalu condong ke kiri. Contoh lain : sistim keamanan tradisional rakyat jawa menghasilkan seni musik : memukul kenthongan, orang lain yang mendengar ( berbahagialah orang yang mendengar ) akan membalasnya..

Kesenian yang menjadi gerakan rakyat akan membuat kesenian itu dibela juga oleh rakyat bila mendapat rintangan. Buruh, Petrani, Kaum Miskin Kota dan Pemuda-pemuda Revolusioner herus mengerti bentuk kesenian yang membela hidupnya dan membantu kerja-kerja pembebasan Rakyat. Minimal seperti Andi Arief-lah. Kalau dulu di jaman Aidit, ada istilah Politik Kiri – Kebudayaan Kanan. Justru, kaum Revolusioner (yang kebanyakan dari kelas borjuis kecil) merasa risih menikmati karya seni “Revolusioner “ yang kebanyakan tidak artistik; disisi lain dituntut sesegera mungkin menyumbangkan dirinya untuk Revolusi.

Semsar Siahaan (salah seorang pendiri Jaker) ditahun 1996 mengatakan, “ Saya ditendang dari Jaker karena perbedaan visi. Saya dianggap lebih mementingkan artistik daripada politik “, yang lainnya memilih politik seperti Widji Thukul, Moelyono, Linda Christanti, Raharjo Waluyo Jati, Hilmar Farid… (yang terakhir ini mendirikan komunitas seni-budaya sendiri keluar dari JAKER tanpa sebab yang saya ketahui pasti. Namanya hampir mirip JAKER yaitu Jaringan Kerja Budaya disingkat JKB ). Pertemuanku dengan Resobowo membuatku agak mengerti : JAKER terlalu politis, Joobar Ayub menolak garis JAKER. Gerakan LEKRA lebih berbobot dari JAKER baik dari segi tuntutan, hasil karya seni LEKRA : Patung, Lukis, Puisi, karya sastra, musik semua yang terbaik di Indonesia adalah hasil LEKRA “, begitu kata Ayub. Begitulah juga Hilmar Farid atau Semsar Siahaan : kesenian haruslah dibangun dengan tetap memprioritaskan artistik walau harus dibebani dengan tugas politik (baca juga : Revolusi). Politik tidak boleh menindas seni. Hakikat seni adalah artistik.

Menurutku pribadi, pertengkaran seperti ini adalah corak lama. Mana yang prioritas Artistik atau Politik? Aku tidak ingin berangkat dari sana. Pram memang pernah mengatakan : dalam tahap awal Seni Realisme Sosialis memang kasar, misalnya slogan, namun nantinya ia akan menemukan sendiri keindahan Artistik, hanya yang perlu diingat: keindahan Seni Realisme Sosialis pertama-tama terletak pada pembelaan dan keberpihakan pada kemanusiaan, (baca: manusia yang tertindas, miskin dan sengsara) bukan pada hakikat seni yang artistik tapi isi dan seruannya yang membela. LEKRA mungkin sudah memadukan dua tugas ( seperti peran ganda ibu ) yaitu memadukan dua tugas tinggi artistik – tinggi politik tersebut dengan baik.

Tapi harus diingat juga, LEKRA dibangun dalam tradisi “ Pendidikan Belanda “ yang terkenal baik dalam soal-soal Humaniora (kata Mangunwijaya). Apalagi sebelum LEKRA dibentuk, kesenian sudah menjadi bagian dari gerakan Revolusi. Kader-kader kesenian cukup banyak disamping dibangun dengan taktik yang jitu (saat itu) dengan pembangunan sanggar (mirip langgar). Dengan begitu sanggar-sanggar kesenian rakyat didirikan dan gerakan LEKRA meluas sampai di desa-desa dan puncuk gunung.

Apa yang kita punya saat ini ? Seni terpuruk dan nista bersamaan dengan kuatnya cengkraman Kapital. Menemukan tentara-tentara seni dan budaya (istilah Mao) di jaman ini susah seperti susahnya ibu-ibu sekarang menemukan kutu dirambut anaknya (tidak seperti dijaman Jepang maksudku). Kita bisa melihat di jaman Orde Baru, tak ada hasil seni dan grup seni yang menonjol. Yang bisa hidup adalah mereka yang memang “ Survival of the fittest “. Grup-grup teater jatuh bangun, tak ada grup teater yang berstamina lama setelah didirikan. Hari ini didirikan, besok latihan, esoknya pentas berikutnya bubar. Bikin baru lagi (seperti komite aksi kita), ruang-ruang seni – budaya dikoran-koran makin menghilang , bahkan Pembebasan, koran kita yang sadar pun tak memberi rumah singgah untuk kesenian kita. Pojokannya pun tidak! Tidak ada Puisi. Kecuali mungkin lain, kalau redaktur Pembebasan menganggap kesenian kita adalah slogan sebagai tahapan awal seni-seni Realisme Sosialis. Tapi, tak apa di Seruan Buruh masih ada “ Puisi “.

Karena itu menurutku, untuk saat ini, yang paling pokok disamping tugas revolusi, tugas kader kesenian kita adalah membangkitkan gairah berkesenian, tak perlu cemas dengan artistik atau tidak artistik dan tidak perlu terjebak dalam sengketa seni lama disamping kita juga mendorong kader kesenian kita untuk belajar secara intensif soal-soal kebudayaan dan seni revolusioner baik dari tradisi seni revolusioner Soviet, Cina, Kuba, Vietnam atau Indonesia. Agar gerakan kesenian yang kita bangun mendapat bentuknya, minimal kita mampu menjawab judul kereta seni yang membawa kita : Seni Perlawanan, Seni Pembebasan, Seni Kontekstual, Seni Marjinal atau masih dengan kereta lama : Seni Rakyat – Realisme Sosialis, Politik adalah Panglima. Dari slogannya nampaknya saat itu LEKRA bingung memimpin gerakan seni yang berjibun di Indonesia. Karenanya butuh Panglima, butuh Jendral yang mengarahkan massa seni.

Saat ini adalah massa seni? gerakan seni? Tidak!. Semangat seni sedang jatuh, kebangkitan dan kegairahan berkesenian inilah yang harus dibangun yaitu dengan produksi seni sebanyak-banyaknya oleh organisasi kesenian kita : mulai dari lagu, sastra dan berbagai jenis terbitan, pentas lukisan, patung sambil mengadakan pendidikan soal-soal tradisi seni revolusioner.

Singkatnya, keberangkatan seni kita lebih baik dimulai dengan berkesenian itu sendiri, berproduksi untuk membuka gairah seni dan ruang seni sebanyak-banyak, seluas-luasnya dengan cara membuat seni menjadi massal dan pengorganisasian kesenian rakyat yang baik dan profesional. Misalnya : pentas teater, melukis dipabrik-pabrik dengan memobilisasi massa buruh dengan catatan melibatkan buruh untuk terlibat dalam kerja-kerja kesenian. Di desa, berkerja sama dengan petani, JAKER tahun 1994 pernah mencobanya di basis tani di Ngawi dan juga memperluas ruang seni dan budaya dikoran-koran maupun koran kita sendiri. Inilah jalan lingkar yang harus kita dilewati kereta kesenian kita.

Jakarta, 10 Mei 2000


Nyali

No comments: