oleh : Toga Tambunan
Karya cerpen-cerpen A.J. Susmana sudah tentu cerminan editentitas dan integritas yang bersangkutan. Karya seni merupakan anak rohani, yang mewakili sosok penciptanya di tengah dinamika hidup, berbaur dengan kawan, sahabat yang bisa menerimanya, bersamaan itu sekaligus bertarung dengan yang bukan kawan atau bukan sahabatnyayang kemungkinan tidak dapat merajut kompromi. Sepuluh cerpen dikemas dalam judul “Lelaki Bernama Karsa”. Ternyata judul buku ini, terdapat pada urutan ke empat,adalah satu-satunya diantara sepuluh cerpen tersebut yang dipublikasi pertama kali dengan terbitnya kumpulan cerpen ini. Mungkin itu alasannya atau juga selaku karya pilihan terbaik menurut penulisnya.
Karya kreativitas bertutur tulis yang mengeksplorasi hikmah, energi maupun bunyi kata-kata sehingga tersusun kalimat, sebagai simbol yang mengekspresikan hajat batin penulisnya, dengan dalam waktu relatif singkat karena mengusung masalah yang terbatas, entah dalam bentuk dan gaya apapun tentulah termasuk dalam himpunan yang disebut cerita pendek. Memang ada yang mendiskripsikan kreasi tutur tersebut mengutamakan peristiwa yang dialami tokoh protagonis berkaitan adanya konflik dengan tokoh lainnya. Sehingga keunikan apa yang terkandung dan bagaimana proses peristiwa konflik yang diusung dalam anak rohani penulis tersebut, menjadi takaran kemuliaan karya.
Pendapat tentang unsur intrinsik yang demikian itu terwakili, misalnya, oleh cerpen “Besok” karya Bachtiar Siagian (Harian Rakyat, 22 Juli 1961, dimuat juga dalam Laporan dari Bawah, yang dihimpun Roma D.A.Y & Muidin M.Dahlan). Jika ditulis dengan huruf calibri ukuran 12, cukup satu setengah lembar A4. Begitu juga ”Tamu Agung” (Rakyat Merdeka, 2007) karya Hujan Tarigan, salah seorang yang turut dimuat cerpennya dalam Bunga Rampai Cerpen Panggung Sastra Komunitas Dewan Kesenian Jakarta.
Pendapat tersebut menegaskan unsur utama adalah peristiwa konflik antar tokoh, sebagai pusat cerpen. Tentu saja hal itu akan terkait juga dengan perobahan perilaku tokoh yang memang dimaklum sebagai irisan karakter namun sebatas perobahan kuantitatif saja atau dadakan. Materi ini membedakan cerpen terhadap novel. Penulis novel, fokus utama tuturannya mengusung proses perubahan karakter sehingga perubahan taraf kualitatif atas para tokoh terlibat konflik. Hal itu ditampilkannya lewat berbagai peristiwa interaksi diantara para tokoh cerita, yang tentu saja berlangsung dalam waktu relatif panjang.
Menyorotkan kriteria deskripsi dimaksud tadi atas kreasi A.J. Susmana, maka 10 karya itu dapat dikatakan kurang dalam hal peristiwa konflik antar tokoh. “Mimpi Rahardja” menghadirkan tokoh tunggal; peran ayah hanya pelengkap kisah. Tidak terdapat peristiwa konflik antar tokoh. Dalam cerita lain, memang ada tokoh dan pihak lain yang berproses bahkan saling selaras bukan terlibat peristiwa konflik. Khusus “Adam dan Eva” dirajut bukan dengan konflik peristiwa melainkan dengan konflik dialog, diakhiri dengan peristiwa kebersamaan. Dalam bagian tengah “Lelaki Bernama Karsa” ada peristiwa konflik sederhana, tapi hanya melatari cerita, karena fofusnya bukan peristiwa itu, tapi pada rasa bersalah tokoh. Selanjutnya penuturan yang retrospektif dan sering terjadi berulang memastikan cerita relative panjang, bukan singkat. Latar restropektifnya umumnya bergaya ikhtisar berdiri sendiri, bukan termasuk dalam kerangka berdialog antar tokoh,
kecuali “Adam dan Eva”.
Berdasar temuan-temuan itu maka kreasi A.J. Susman, tidak termasuk dalam diskripsi tersebut. Lebih kena disebut cerita esai.Hal demikian bukan dalam buku ini saja. Estetik demikian sudah identitasnya, setidaknya sampai saat buku “Lelaki Bernama Karsa” ini. Sepuluh karyanya yang terbit terdahulu dalam buku “Perempuan Tangguh” yang mengambil setting utama prahara kemanusian tahun 1965, mengulik hak-hak asasi manusia, sudah lebih dulu bergaya dalam bentuk cerita esais.
Tiap karya kreativitas tentu mengusung keistimewaan kandungannya. Cerpen berdiskripsi tentang unsur intrinsik yang diutarakan sebelumnya, berdampak membangun penalaran alternatif mengenai kausalitas peristiwa berkaitan dengan pesan moral yang terkandung.
Esensi karya seni, justru dimanifestasikan oleh dampaknya di ranah publik. Seberapa besar perubahan terjadi, secara perorangan ataupun massal, dalam kalangan publik akibat peran anak rohani seniman. Dampak karya terhadap publik itulah ukuran kemuliaan karya. Perkara ini terlebih utama dari pada menggali teoritis unsur ekstrinsik maupun intrinsiknya.
Memang seyogianya kreativitas seni bebas definisi. Sekalipun dideskripsikan, selayaknya disertai kesadaran relativitas,
yakni senantiasa terbuka diselaraskan obyektif dengan gerak perubahan masyarakat menuju destinasi obyektifnya.
Sehubungan dampak karya seni terhadap struktur sosial kehidupan masyarakat, khususnya Indonesia, yang menderita penyakit serba akut komplikasi kronis, endemis, perdarahan multi krisis, perlu dipahami jelas penyebabnya. Bahkan sudah terselenggarakan terapi dengan berbagai obat penawar hasil demokrasi pasar liberal. Terapi itu hasil rumusan dari pandangan hidup atau filsafat penindasan terhadap kemanusiaaan, misalnya dengan resp Bank Dunia, IMF, Mengamademen UUD 45 sehingga anti Rakyat dan tanpa GBHN, Membuat Undang-Undang pro modal asing, dll. Ternyata gagal. Kita menderita luar biasa. Diibaratkan menderita penyakit medis, kasus Indonesia tidak akan dapat disembuhkan dengan terapi termodern, sekalipun hasil produksi sistim sekarang, bahkan meski sdh dikombinasi dengan akupuntur yang memang terbukti ilmiah dengan penemuan jaringan kyumrak oleh ahli-ahli Korea. Untuk mengatasi penyakit manusia, telah ditemukan sel punca.
Sel punca ini meregenerasi sel-sel rusak atau tak berguna, menterapi beragam penyakit yang selama ini belum dapat diatasi.
Karya A.J Susmana amat kental dengan isu sosial politik, yang mencakup kemanusian. “Mimpi Rahardja” melobi pesan moral : “…..Jadilah kini ia seorang petani. Ia menjadi petani yang ulet ……..Ia juga ingat tafsir mimpi ayahnya…. “ Ternyata kuda-kuda hidup Rahardja bukan pada otot mimpi. “Lelaki Beranak Satu” itu melawan mistik yang menggelayuti benak sedulurnya se-desanya, yang mengejeknya melawan petir pencurah hujan badai sumber banjir pemorakporandakan tegalan mereka. “Lelaki Beranak Satu itu tak hendak berhenti . Kalau Ki Ageng Sela bisa, aku juga bisa! Tak berapa lama. Ia pun melakukan cangkulan terakhir …….menandai pembuatan parit itu berakhir. A.J. Susmana mengketengahkan konflik pikiran, emosi, pendapat dalam batin tokoh, bukan peristiwa konflik yang terjadi antar tokoh mengenai emosi, moral, dan yang sejenisnya yang diwakili perilaku. Begitulah dalam “Kakek Penyadap Tuak”, sang aku “…..ingin tidur tapi tak bisa. Mengapa ada kakek penyadap buah lontar yang miskin tapi berani berbagi di tengah kemiskinannya, sementara penguasa kotanya……. melakukan korupsi besar-besaran. Apakah ini nyata Teman? Bantu aku menemukan jawabannya”
Cerpenis yang termotivasi agar dampak karyanya berproses memproyeksi kesadaran batin publik ke tendensi moral yang diidamkan dan tidak mengutamakan penalaran kausalitas publik, tentu saja menempuh tehnik berkreasi berbeda dari diskripsi diatas. Bentuk dan gaya kreasi tersebut lain dari unsur intrinsik yang dideskripsikan.
Bermaksud membangun kesadaran, A.J Susmana secara spontan atau beritikad menyajikan bukan konflik peristiwa antar tokoh, dia tidak memenuhi tuntutan kriteria cerpen seperti dimaksud deskripsi diatas, yang tujuannya mendapatkan effek penalaran kausalitas, melainkan dia menyampaikan renungan, mengajak khalayak berkontemplasi sebagaimana semua karyanya yang kontemplatif. Dia regang kemauan, mengocek korong inteligensia, mengipas rekognisi, merekomandasi penolakan terhadap kesadaran palsu yang ditebar pihak pemilik modal dan komprador, yaitu kongsinya pemilik modal diantara para pengambil kebijakan negara. Banyak pengamat menyimpulkan 80% informasi adalah repressi untuk kesadaran palsu. Bukankah kebohongan terus menerus dapat merekayasa informasi palsu diolah sehingga jadi sesuatu opini yang faktual. A.J. Susmana memberitahukan perihal itu dalam semua karyanya itu. “ Disini orang menari dalam kejujuran. Disini tubuh menyimpan banyak kekayaan yang tak ditampilkan di desaku yang munafik…….Kekerasan? Ya! Karena orang-orang bayaran penjaga ‘pantai mutiara’ itu tak segan menembak penduduk …… Kami pun bercerita tentang kemiskinan kami dan bagaimana orang-orang kaya menumpuk kekayaan dengan korupsi dan menjual kemiskinan kami. Tak ada benci dan dendam di hati kami……. Mengapa orang-orang itu bisa melakukannya?.....Bukankah disini didirikan Gereja Kristus?” itu sepenggal kontemplasi dalam “Malam Yang Setia”Demi pembaca dapat cepat menyerap materi kesadaran yang diketengahkan, bentuk yang paling cocok dan mudah mengolahnya, memang adalah bentuk dan gaya cerita esai. A.J. Susmana tidak terikat oleh diskripsi tentang intrinsik cerpen seperti disebut diatas.
Bentuk dan gaya bukan faktor penentu menghasilkan effek dari pembaca, melainkan oleh isi karya. Sebagai contoh yang pernah terjadi yaitu cerpen “Senjari (baca: Senyari) Bumi” karya Giyono Gandrung dimuat dalam Harian Rakyat berturut-turut tgl 24 sd 26 April 1962,Bentuknya amat sederhana, boleh disebut cerita (pola) jurnalistik. Narasi maupun plot sangat sederhana. Bahasa sangat sederhana. Petani pendidikan terrendah sekalipun dapat segra menangkap makna dan segra terinspirasi. Justru dalam kesederhanaan bentuk dan gaya itulah terkandung kedahsyatan potensinya. Terbukti penguasa gusar sehingga membreidel harian tersebut beberapa hari. Itulah pertama kali setelah proklamasi Agustus, cerpen surat kabar itu diberangus karena cerpen.
Dalam bentang pengertian masyarakat Indonesia teramat menderita inilah anak rohani A.J.Susmana menawarkan alternatip pola pandangan hidup obyektivisme sebagai intrumen alternatip pola pikir, pandangan hidup dan pegangan kesadaran, agar berhasil mengganti struktur dan kondisi kini masyarakat, yang berbeda bahkan bertentangan dengan pola pandangan positivisme pragmatik, yaitu penghasil penyebar kesadaran palsu, yang kini menjajah membelenggu dinamika masyarakat, agar kondisi timapng setidaknya tetap status-qua.
Dengan lebih jeli sedikit mengamati gagasan obyektivisme yang konsisiten dalam 10 karya A.J. Susmana ini, khalayak secara mudah menangkap muatan filsafat materialisme dialektik histori. Sekalipun tidak menyebut eksplisit. Dengan gaya sering retrospektif, dibumbui lagi menyebut langsung nama Semaun di Semarang dalam “Lelaki Beranak Satu”, sudah cukup menegaskan ajakannya agar menggumuli pandangan bahwa obyektivisme kandungan ilmiah filsafat MDH inilah berfungsi sebagai sel punca struktur masyarakat, mengatasi kondisi peradaban Indonesia yang kini porak poranda. Sel punca struktur masyarakat Indonesia……………
Adanya penampilan istilah dan ungkapan bahasa, dan juga untaian mutiara hikmah tradisi etnis Jawa, termuat dalam cerita esai ini, menambah semarak khazanah budaya Indonesia.
Ujar Mangkuprojo,menantu Pakubuwono III, suami GRA Retno Dumirah : “Luwih utomo numpuk kawaruh, tinimbang numpuk bondo. Kawaruh ora iso ilang, nanging kabeh kanggo ngrungkupi bumi”
Sementara itu, selayaknya juga diajukan tanda tanya, mungkinkah kreasi A.J Susmana ini dapat terserap dengan mudah oleh umumnya petani yang berdiam di desa berpendidikan terbatas yang justru mayoritas penduduk Indonesia dan paling berkepentingan adanya perubahan mutlak sistim sehingga akan terinspirasi mendemonstrasikan obyektivisme dimaksud? A.J. Susmana dapat berkontemplasi dalam hal estetik yang dituntut petani ini, sebagaimana harusnya para seniman turut serta berperan untuk percepatan mencerdaskan kesadaran warga negara terlebih khusus para petani yang berpendidikan terbatas.
Merdeka!
Jakarta, 22 Nopember 2011.
Disampaikan di PDS B Yassin tgl 25 Nop. 2011, dalam acara bedah buku “Lelaki Bernama Karsa” kumpulan cerpen karya A.J.Susmana, (Toga Tambunan, salah seorang pendiri Paguyuban Kebudayaan Rakyat Indonesia/PAKRI)
No comments:
Post a Comment