Catatan Akhir Tahun 2009 - Jaker



Neoliberalisme,
menggerus Kepribadian Bangsa.


Di tiap penghujung tahun, hampir semua organisasi kemasyarakatan, pemerintah, non pemerintah melakukan evaluasi setahun perjalanannya dan berbentuk catatan akhir tahun. Demikian juga Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), merasa perlu mencatat beberapa hal penting terkait peristiwa seni–budaya yang terjadi di sepanjang tahun 2009.

Pesta Demokrasi Pemilu 2009

Di bulan april 2009, konsentrasi rakyat tertuju pada sebuah hajatan politik besar lima tahunan---pemilu 2009 yang diikuti 38 partai politik. Sebuah momentum politik yang seharusnya menjadi sekolah untuk memajukan kesadaran berpolitik rakyat, bukan asal “aji mumpung”; menawarkan diri menjadi massa bayaran pada saat kampanye, dengan berharap diberi sangu Rp50 ribu-Rp100 ribu, plus kaos dan nasi bungkus. Atau puas dengan menyewakan rumah kita sebagai kantor/sekretariat partai, tentunya dengan harga sewa atau tarif yang tinggi. Mumpung lagi pemilu, partai-partai menebar banyak uang. Belum lagi “serangan fajar” menjelang pemilihan, berupa sembako, aspal desa, uang, dsb.

Meskipun begitu, ada fenomena baru yang patut diberikan apresiasi; kehadiran caleg aktivis pergerakan. Dalam pilpres 2009, ada ribuan caleg berlatar belakang aktivis yang bertarung dalam pemilu, mencoba menawarkan warna politik yang baru. Terlepas kemudian mereka kandas dan hanya sedikit sekali yang berhasil terpilih, namun mereka telah memulai tradisi pergerakan yang baru, bahwa aktivis bukan hanya berteriak di jalanan, tetapi mulai terlibat langsung dalam perjuangan politik.

”Klaim” Malaysia

Kehebohan lainnya adalah Kasus “klaim” Malaysia terhadap beberapa produk seni budaya Indonesia. Ini memicu gelombang protes dari berbagai seniman, masyarakat, dan aktivis, serta memicu berkobarnya sentimen nasionalisme, meskipun, dimata banyak kaum pergerakan, itu adalah ekspresi nasionalisme sempit.

Mungkin, negara harus mengingat kembali resolusi Kongres Nasional Lekra I pada
27 januari 1959, tentang pendidikan kebudayaan di sekolah – sekolah, tentang pengumpulan,penyelidikan – penafsiran cerita – cerita rakyat, tentang kerja penerjemahan sastra empat jurusan (Indonesia daerah, Indonesia asing, asing Indonesia, asing daerah), membumikan karya – karya seni (rupa) progressif di tengah massa buruh, tani, pemuda dan wanita.

Juga, proses registrasi secara detil atas karya tari, musik dan dongeng, sebagai kekayaan bangsa yang harus terus di inovasi sebagai salah satu metode pelestariannya. Kemudian, memfasilitasi/menggerakkan pekerja seni budaya kita, berkarya tentang budaya progressif yang dimiliki bangsa ini, seperti gotong royong, anti penjajahan asing, dst.

Kriminalisasi KPK

Kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah institusi yang masih dipercaya rakyat, juga atas apa yang menimpa dua wakil ketuanya, Bibit Samad Rianto dan Candra Hamzah mendulang dukungan luas dari berbagai kalangan. Ini memicu gelombang protes dan perlawanan, bukan hanya di jalanan melalui aksi massa, tetapi juga di jejaring sosial di dunia manya, seperti Facebook, blogger dan Twitter.

Tak ketinggalan juga para pekerja seni budaya kita, turut mendukung lewat lukisan di kanvas, mural di tembok kota, lagu dan syair juang. Temanya hampir sama; Indonesia baru tanpa korupsi.

Kita bisa menyaksikan pergelaran seni yang diselenggarakan oleh komunitas Cinta Indonesia Cinta KPK (CICAK) di bundaran Hotel Indonesia, di mana beberapa artis dan seniman terkenal, diantaranya Slank, Netral, Fariz RM, Efek Rumah Kaca, Once Dewa,
Trio Macan, Edo Kondologit, Rieke Diah Pitaloka dsb, menyanyikan gubahan lagu ’Garuda di Dadaku’ menjadi KPK di Dadaku.

Sementara itu, ’Posko Bersama Anti Korupsi’ yang dibangun sejumlah aktivis pergerakan di pelataran gedung KPK Jakarta, setiap sabtu malam, juga berhasil menjadi panggung seni yang menarik banyak seniman dan massa rakyat. Beberapa seniman tampil secara rutin dan bergantian di panggung tersebut, diantaranya Frankie Sahilatua, Ras Muhamad, Sujiwo Tejo, Happy Salma, Suroso, Adhie Massardi, Seniman Jalanan Jakarta (Senja), Rizal Abdulhadi, KunoKini, Local Ambience dsb.

Jangan lupa juga dengan apa yang dikerjakan seniman – seniman dari Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), ber-gerilya seni dengan keluar masuk beberapa kampung di Jakarta, bekerjasama dengan ormas pemuda dan mahasiswa, menyambangi warga kampung, berkampanye pentingnya membangun gerakan pemberantasan korupsi.

Koin untuk Prita

Ketidakadilan yang menimpa Prita Mulyasari atas kasusnya dengan RS Omni Internasional dan institusi peradilan, telah melahirkan gerakan pengumpulan koin. Gerakan ini mungkin jadi fenomena baru dalam hal metode, walau bukan yang pertama, karena sebelumnya sudah ada dengan apa yang disebut ’Dana Juang’. Dana Juang sudah di praktikkan oleh beberapa ormas buruh, ormas kaum miskin kota. Dana juang sendiri adalah gerakan wajib menabung Rp 500,-/hari oleh anggota serikat/organisasi, sebagai ongkos aksi massa (untuk sewa bis, konsumsi, pembuatan poster-spanduk dst), mimbar kampung, vergadering, seminar dst.

Satu catatan penting atas peristiwa kriminalisai KPK dan Koin untuk Prita, bahwa lazimnya penggunaan internet di masyarakat kita sekarang, turut memudahkan penggalangan dukungan. Hidup di budaya cyber, seperti sekarang ini, memungkinkan kita jadi salah satu dari sejuta facebooker yang menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Jadi salah satu dari sekian banyak orang yang mengganti tampilan photo di facebook-twitter-blogspot atau desktop komputer-laptop dan HP kita dengan logo ’Pita Hitam’ sebagai simbol keprihatinan, atau siluet perempuan berjilbab; Prita Mulyasari, lambang perlawanan atas ketidakadilan.

Perkembangan Sastra

Pada 10 November, novel Bulan Lebam Di Tepian Toba (2009), karya Sihar Ramses Simatupang diganjar penghargaan khusus di ajang anugerah sastra Khatulistiwa Literary Award, menjadikan karya ini go internasional dan, oleh Metropoli d'Asia, penerbit Italia, karya ini terbit dan dipublikasikan di sana.

Ada kebanggaan atas capaian seorang Sihar Ramses yang sehari-hari bekerja sebagai jurnalis, mengawal rubrik budaya di sebuah harian sore di Jakarta. Karena bangsa sebesar ini, mulai melahirkan tonggak – tonggak sastra baru, berikut karya – karya yang terpublish di mancanegara. Bila dulu karya – karya Pramoedya Ananta Toer tersebar dalam 41 bahasa asing, atau si Laskar Pelangi Andrea Hirata, kondang di Malaysia dan Singapura, maka kali ini hati kita tentu akan tergetar bangga bila suatu saat berkesempatan (kalau ada kesempatan lho..) ke Italia, dan menemukan Bulan Lebam Di Tepian Toba terpajang di rak sebuah toko buku di sana. Atau ujug-ujug ada seorang bule Italia menanyakan asal kita darimana, trus kita jawab dari Indonesia, dan dia langsung mudeng perihal Indonesia karena pernah baca Bulan Lebam.

Perkembangan di Bidang Film

Tahun 2009 sepertinya jadi tahun pelarangan film. Setelah film 2012 yang dilarang Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena alasan bisa merusak iman, sesat, dan bertentangan dengan ajaran agama soal kiamat, kini ada Balibo Five, kisah nyata tentang kematian 5 orang wartawan asing saat bertugas meliput detik-detik invasi militer Indonesia ke Timor Leste di tahun 1975, dilarang edar tayang oleh Lembaga Sensor film (LSF) juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jerok Wacik, dengan alasan menyudutkan militer Indonesia/TNI.

Namun di kesempatan lain Laskar Pelangi karya Riri Riza, Jamilah dan Sang Presiden karya Ratna Sarumpaet, berhasil mengukir kemenangan di Festival Film Asia Pasific ke-53 di Taiwan. Laskar Pelangi juga memperoleh ‘Golden Butterfly Award di Festival of Films for Children & Young Adults’ di Hamedan, Iran, Jamila Sang Presiden dapat penghargaan ’The Network for the Promotion of Asian Cinema (NETPAC) Festifa Film Asiatic Mediale di Roma Italia, tentu satu kebanggaan tersendiri bagi dunia film kita.

Kebudayaan Kita Hari Ini

Secara umum, kita belum berkepribadian dalam budaya. Kita merasakan problem serius dalam persoalan kebudayaan, terutama karena neoliberalisme ini, yang memaksa kita jadi masyarakat konsumtif, disibukkan bagaimana cara agar kulit kita tidak berminyak dan tampak putih. Memuja kebendaan, bukan sebagai fungsi, tapi gengsi, terus mengkonsumsi, gak punya uang bisa ngutang (baca: kredit), seperti maunya kapitalis demi akumulasi modal.

Mata, hati dan telinga kita setiap hari di bombardir iklan yang jadi ujung tombak dagang koorporasi, di koran, majalah, internet dan jagad audiovisual, dibentuk kesadaran rakyat agar seragam, seperti contoh ketiak tidak boleh basah, karena itu buruk, berdosa dan gak gaul.

Dan negara gagal membangun industri nasional yang kuat, tak ada perlindungan bagi rakyatnya, menyerahkan hidup banyak orang kepada pasar bebas, disuruh terjun bebas di alam kapitalisme – neoliberal yang tak adil ini. Menghasilkan kehidupan kontras nan keji, dimana ada negeri yang sudah menekuk waktu dengan memproduksi kereta api Shinkansen berkecepatan 300 km/jam, kita di sini masih berurusan dengan bayi-bayi tumbuh dengan gizi buruk – busung lapar dan rakyat makan nasi aking. Begitu banyak rakyat tak berumah, tapi ada aktris yang punya ruangan berukuran 2 x 10 meter, khusus untuk menyimpan sekian ratus koleksi sepatunya.

Bangsa ini juga gemar membakar buku sejarah karena tidak setuju dengan isi, tapi harga diri bangsa ini seperti di tampar - tampar setelah mendapati tim sepak bola nasional kita kalah oleh Laos dan Myanmar di Sea Games XXV, padahal sepak bola begitu membudaya di sini.

Maka, selamat menyambut pergantian tahun. Selamat datang FTA Asean – China.
Jika kita ingin jadi bangsa yang besar - berdaulat - sejahtera dan maju, maka negara harus berani melawan dikte ekonomi, politik dan budaya negeri – negeri imperialis, dengan menolak bayar utang, menasionalisasi perusahaan – perusahan tambang asing, karena kita butuh uang sangat banyak untuk membangun industri nasional kita.

Jakarta, 27 Desember 2009

Bangun Budaya Ilmiah, Demokratik, Modern dan Pro Rakyat
Pengurus Pusat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat – PP JAKER

Tejo Priyono (ketua)
Suroso (Sekretaris Jendral)

____________________________________________

Hp. 0817 687 95 98
pp.jaker@gmail.com | http://jakker.blogspot.com

No comments: