RESPON SITUASI KEBUDAYAAN NASIONAL

Situasi panas Indonesia - Malaysia pasca “klaim” Malaysia terkait beberapa produk seni budaya Indonesia berdampak terhadap respon banyak pihak di kedua negeri serumpun itu.


Pemerintah Indonesia lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan para gubernur, diminta menginventarisasi kekayaan anak bangsa dan mendata jenis-jenis kesenian (tradisionil) setempat.

Dan dari 33 propinsi yang ada, baru 3 propinsi yang menyerahkan data resminya; yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Yogyakarta. Dari 3 propinsi tersebut, total tercatat 600 jenis kesenian.

SBY juga merencanakan kunjungan resmi kenegaraan ke Kuala Lumpur awal oktober nanti, untuk bertemu Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak.


Kelompok-kelompok organisasi di luar pemerintah meresponnya dengan berunjuk rasa ke kedubes Malaysia, membakar bendera dan sweeping warga Malaysia. Pelaku seni budaya di beberapa tempat juga tak ketinggalan, ada yang bertekad akan membiayai sendiri kelangsungan hidup kesenian tradisional (karena minim perhatian dari pemerintah) seperti yang dilakukan Komunitas Penari Jaipong Jawa Barat.


Atau protes yang dilakukan keluarga mahasiswa Bali yang berada di Yogyakarta, dengan menggelar Tari Pendet massal, diikuti sekitar 40 penari, di simpang empat Kantor Pos Besar Kota Yogyakarta, Minggu (30/8) sore.



Kaum budayawan kita menanggapi dengan berbagai opini dalam tulisan-tulisan di surat kabar dan respon ketidaksenangan di media elektronik. Seperti Permadi SH yang berang dan marah besar (atas banyak kelakuan malaysia kepada kita) di talk show beberapa stasiun TV.

Juga ada Ray Sahetapy yang datang dan mendaftarkan diri sebagai Sukarelawan Ganyang Malaysia di Posko jalan Diponegoro.


Sementara pemerintah Malaysia mengirim menlunya, Anifah Aman memulai kunjungan resmi ke Indonesia di pertengahan September 2009, dan bertemu dengan menlu, Hassan Wirajuda juga presiden SBY.


Kubu oposisi Malaysia juga mendatangi kantor kedutaan Indonesia di Malaysia dan menyampaikan keprihatinan atas ketegangan hubungan Malaysia-Indonesia, beberapa pekan terakhir terkait isu kebudayaan, pekerja migran dan perbatasan.


Melihat situasi di atas, juga pedih dengan kenyataan betapa massifnya produk-produk budaya imperialis (yang masuk lewat neoliberalisme) menggilas mati seni budaya lokal/tradisi, maka kami Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER bersikap:


1. Bahwa semua sektor gerakan rakyat harus bersatu untuk kerja-kerja pembebasan nasional, bersatu untuk segera MENGAKHIRI DOMINASI IMPERIALISME atas bumi-tanah-darat-laut dan dikte kebudayaan rakyat Indonesia.


2. Menyerukan kepada pemerintah untuk MEMBIAYAI, mendata, menjaga, mengelola, membuat panggung rutin, pertemuan/kongres seni budaya serta mengenalkan produk-produk seni budaya kita; lewat kurrikulum pendidikan, buku-buku, multi media (audio visual, internet dst) serta mendaftarkannya secara resmi sebagai produk Hak Kekayaan Intelektual kepada badan-badan resmi internasional bila perlu.


3. Menyerukan kepada pekerja seni budaya kerakyatan untuk segera mengorganisir diri, terus berjuang dan berkarya melakukan inovasi, penemuan-penemuan kreatif dengan metode baru, hingga tidak kalah (dalam hal kreatifitas dan ide-ide modern) dengan produk-produk seni budaya asing.


4. Menyerukan kepada pekerja seni budaya kerakyatan untuk bertanggung jawab memberi panggung, memfasilitasi, mendokumentasi, meluaskan karya karya progressif kerakyatan agar terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses banyak orang; dengan buku, design, audio visual, maupun ide ide dalam pengembangan/penemuan tehnologi.


Demikian respon Jaker atas situasi kebudayaan nasional yang terjadi.

”Bangun budaya ilmiah, demokratik, modern dan pro rakyat”.


Jakarta, 24 September 2009


Pengurus Pusat

Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat – PP JAKER



Tejo Priyono (Ketua)


Suroso (Sekretaris Jenderal)

No comments: