Sejarah Pembentukan Jaker

Jaker adalah jaringan pekerja seni budaya yang bergerak di bidang daya cipta dan kreativitas. Minat utama jaringan ini adalah sastra, seni, filsafat, agama dan budaya populer, baik dalam bentuk pemikiran-cipta atau karya-cipta. Agenda utama Jaker adalah membentuk jaringan /lingkar lingkar kebudayaan terkecil di sanggar sanggar seni di basis basis buruh dan petani di kampung kampung yang tak terjamah oleh dewan-dewan kebudayaan yang menjadi elitis di kota besar sehingga tak menjamah kebutuhan kekaryaan pekerja seni lapisan bawah.

Pertama kali terbentuk pada tahun 1993 oleh nama-nama Widji Thukul, Moelyono, Semsar Siahaan, Rahardjo Waluyo Djati, Hilmar Farid, Linda Christanty dan masih banyak lagi. Jaringan Kerja Kesenian ini “ada” untuk menjawab tuntutan dialektika sejarah sebagai counter dari kesenian yang dikendarai oleh neokolonialis dalam penetrasi budaya melalui dewan-dewan kesenian milik rezim ORBA serta seniman-seniman “besar” kubu humanisme universal untuk kepentingan penanaman modal kapitalis-imperialis Amerika dan negara imperialis lainnya.

Pada peristiwa “Sabtu Kelabu” 27 Juli 1996, JAKER turut menjadi kambing hitam. Karena kondisi tersebut membuat JAKER terus bergerak dari bawah tanah dengan menyuarakan tuntutan kesenian yang anti militerisme dan anti humanisme universal dengan bendera Graphic Guerilla menggunakan media poster, paper puppet dan selebaran (flyer)

Setelah peristiwa Mei 1998, Soeharto lengser, JAKER kembali menunjukkan keberadaannya secara legal dengan mengadakan berbagai kegiatan kesenian yang berpihak kepada perjuangan rakyat untuk meluruskan budaya demokrasi dibumi tercinta ini. Disamping terlibat diberbagai aksi dengan tuntutan-tuntutan reformasi maupun isu-isu nasional lainnya, beberapa even kebudayaan digelar.

Jaker dibentuk ditengah situasi terpuruknya perekonomian Indonesia akibat krisis ekonomi dan politik yang semakin memperparah kondisi perekonomian rakyat. Krisis tersebut merupakan sisi kelam bagi rakyat keseluruhan dan seniman/pekerja seni tradisional khususnya,namun disisi lain telah menghasilkan satu hal yang positif yakni bangkitnya perlawanan rakyat yang di pelopori mahasiswa untuk menutut perubahan dari hari ke hari perlawanan terus mengalami peningkatan. Tuntutan rakyat untuk perubahan ini memaksa suharto untuk turun dari jabatannya. Sesuatu kekuasaan yang telah dibangun selama 32 tahun diatas darah dan air mata rakyat ternyata tidak mampu dipertahankan.

Tetapi seniman/pekerja seni yang merasakan dampak dari krisis ternyata belum terlibat dalam perjuangan ini. Disaat sektor rakyat lain seperti mahasiswa dan kaum miskin kota turun dalam perjuangan politik. Seniman/pekerja seni masih terkekang dengan rutinitas berkarya individualnya. Semua ini akibat dari pembodohan dan depolitisasi yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru, yang selalu berupaya meredam perlawanan dan bangkitnya kekuatan seniman/pekerja seni dalam proses kebudayaan Nasional.

No comments: