Dunia Semsar Siahaan


Semsar Siahaan Kembali dari Pengasingan

JAKARTA – Suatu siang, bertahun-tahun lalu, sebuah mural karya Semsar Siahaan di tembok Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, diruntuhkan. Lukisan dinding yang dibuat tanpa izin ini hilang bersama bangunan fisik Teater.

Semsar Siahaan adalah salah satu nama seniman yang selalu berontak atas tindakan represif penguasa di masa itu. Ia mengekspresikan sikapnya itu lewat karya-karya poster, ilustrasi, dan lukisan-lukisannya. Karya mural di tembok Teater Arena pada masa itu pun melukiskan kejengahannya pada militer yang berkuasa. Ia menggambar seorang aparat—tampak belakang—lengkap dengan sepatu lars dan seragam loreng.

”Itu tentang keterasingan,” katanya, setelah beberapa masa berlalu. Semsar, yang menghilang beberapa lama dari ”panggung” seni nasional kini kembali lagi. Ia berpameran di Galeri Nasional, Jakarta. Karya-karya yang dipamerkan itu tidak dihasilkan di negeri tanah kelahirannya ini, melainkan di Kanada, sebuah negeri yang ”menampungnya” saat ia harus berhadapan dengan tekanan dari pemerintah Orde Baru. Saat itu, Semsar pergi seiring nama ”besarnya” sebagai seniman yang aktivis, aktivis yang beroposisi.

Telah banyak perubahan yang dialaminya, seperti juga berjalannya waktu. ”Proses pasti akan terjadi,” jelasnya saat ditemui SH di Galeri Nasional. Karya-karya yang ditampilkannya dalam pameran ini memang memperlihatkan eksplorasi gaya. Namun tetap saja, ”garis perjuangannya” jelas. Semsar tetap tak bisa menghilangkan kekritisannya terhadap arus globalisme, kapitalisme, imperialisme atau juga pelanggaran HAM yang terjadi di negara yang dia tempati.

Itu dia lakukan ketika terjadinya pembunuhan seorang aktivis yang dituangkannya dalam karya lukisan ”Genoa Tragedy 1”, ”Genoa Tragedy 2” dan ”Genoa Tragedy 3”. Sama seperti ketika dia membongkar kesedihan masa lampau terhadap peristiwa di Dili dalam lukisan ”In Memoriam Santa Cruzs” (2001).

Simbolik dan Perjuangan

Dunianya adalah dunia simbolik. Hal itu terlihat dalam lukisannya yang berjudul ”The Man Who Knows All” (2002). Dalam lukisan itu, George Bush dilukiskannya mengenakan pakaian ”terlampau besar untuk dirinya”, bersandar pada pemasang perangkap lalat ”pertanda kematian”, dengan senjata yang dia pegang, dan sementara sepatu ”kesayangannya” menginjak surat perjanjian antinuklir.

Simbol itu juga muncul saat dia menampilkan sosok manusia dalam lukisan serigrafi ”Genoa Tragedy” tadi, dengan tampilan otot sapi atau semacamnya, yang bisa ditusuk atau disangkut dengan gancu (tongkat besi pengait) seenaknya, padahal ”aktivis itu adalah manusia”

Dunia simbolik juga yang diperlihatkannya pada karya rangkaian ”lingkaran segi enam” yang memperlihatkan bentuk pizza raksasa berjudul ”G-8 Pizza”, dengan potongan gambar-gambar simbolik tentang teknologi, globalisasi yang sejalan dengan kapitalisme.

Selain melukis di media kanvas, ia juga membuat karya instalasi yang terbuat dari kardus. Kardus-kardus tersebut dibuat bersilang dengan sandaran kayu. Karya instalasi pertamanya yang terbuat dari kardus, menurutnya, diciptakan pada suatu malam bersalju, saat dia ingin merokok dan diberi judul ”The Study of Ice Man” (2001).

Karyanya yang berupa simbolik ini nyatanya juga tak hanya yang bertema sosial dan kemanusiaan, tapi juga diperlihatkannya pada karya-karyanya yang lebih mengarah pada internal dirinya yang berdialog dengan alam, seperti dalam lukisan ”The Springs Full Moon 1” (2004) dan ”The Springs Full Moon 2” (2004).

Belakangan, karya-karyanya memang menggunakan garis-garis, bahkan objeknya dibuat nyaris ”abstrak berfigur”. Lukisan yang tak verbal dalam perwujudan objeknya namun tetap memperlihatkan tema sosial itu ada pada karya antara lain ”Homage to Andy Warhol” (2001) dan ”Double Portrait (Portrait of Nicole M.B)”.

Sketsa Semsar Siahaan justru tampak lebih lugas dan detail. Namun, di dalam sketsa, Semsar tetap memperlihatkan kekhasannya, berupa ketekunan arsiran. Warna-warna gelap dalam sketsa hitam-putihnya, tak selalu diperlihatkan dalam warna bidang hitam. Karya sketsa tinta di atas kertasnya dengan judul antara lain ”Third Millenium Totem 1”, ”Third Millenium Totem 2 (Mother and Child)” dan ”Third Millenium Totem 3”, atau ”The Poet who Dissapeared” (2000), menunjukkan hal itu.

Kembali kepada Semsar yang dulu berbicara verbal baik dalam tema maupun teknik karyanya, karya kali ini, sekalipun dengan misi dan ideologi yang sama, karyanya lebih memperlihatkan kontemplasi perenungan. Di satu sisi, permainan kekuatan warna, warna-warna baru seperti garis atau pecahan objek, namun di sisi lainnya adalah kekuatan untuk ”pemberontakan” atau ”kegilaan” tampaknya kini lebih diredam. Benarkah? (SH/sihar ramses simatupang)

Semsar Siahaan, Seni Pejuang Manusia
(Kompas, Minggu, 22 Agustus 2004)

PENGGEMAR seni di Indonesia mestinya belum lupa dengan sosok Semsar Siahaan yang gemar "berjuang" ini. Ketika banyak seniman lain merasa cukup menampakkan kesetiakawanan lewat karya, lewat ucapan, ia hadir secara fisik di dalam berbagai aksi jalanan. Ia bukan hanya menyiapkan peralatan berdemonstrasi lewat keterampilan menggambarnya, tetapi juga ikut mengusung dan berjemur di terik Matahari bersama sejumlah aktivis. Sebutlah itu seperti aksi unjuk rasa melawan pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik tahun 1994. Demikian juga pada demonstrasi anti-Perang Teluk tahun 1991.

SEMUA itu terjadi di Jakarta. Lima tahun lalu ia menghilang dari peredaran dan bermukim di Kanada. Ternyata negeri dingin yang makmur itu tidak membuat semangatnya membeku. Ia tetap giat bersama sejumlah penggiat LSM dalam berbagai isu.

Pengalamannya dengan pergaulan yang lebih luas tersebut ia bawa di dalam pameran oleh-olehnya di Galeri Nasional, Jakarta, tanggal 15-30 Agustus 2004. Untuk pameran The Shade of Northern Lights ini ia membawa puluhan karya-karya hitam putih, belasan "obyek", dan berpuluh lagi lukisan cat minyak. Sebagian besar karyanya bersoal tentang penderitaan sebagian manusia karena kuasa dan ulah manusia lain, yang tersistem. Persoalan manusia di negeri rantau itu umumnya kemudian terasa menjadi universal, menjadi juga bagian dari persoalan manusia di negeri asalnya.

Ruang utama galeri yang sangat luas itu mendapat salah satu daya tariknya lewat sebuah seni instalasi bertajuk G-8 Pizza. Ukurannya yang besar-diameternya 400 cm-namun terlebih lagi pesannya yang menohok, telah membuat banyak pengunjung pameran berlama-lama menatapnya.

Semsar membuatnya dengan charcoal yang memberi kesan kusam di atas bahan-bahan karton bekas yang utuhnya berbentuk oktagonal, lingkaran bersegi delapan. Karya ini mengingatkan orang akan bentuk lembaran pizza, dengan potongan segitiganya. Bidang luas ini memang terbagi di dalam delapan buah segitiga, yang masing-masing berisi adegan tersendiri namun bisa saling kait dengan lainnya.

Di sana ada tokoh-tokoh utama yang berwajah mirip babi atau wajah manusia yang sudah digayakan, masing-masing menghadap pusat lingkaran. Seorang memegang remote control, ada yang sibuk dengan bor elektronik, yang lain beraksi dengan jarum suntik, mengutak-atik otak, menyiapkan hulu ledak nuklir, dan seterusnya. Seseorang yang lain memegang pinset dan dengan itu memunguti tubuh-tubuh manusia berukuran sangat mungil-adegan ini berada di dalam potongan yang direnggangkan dari lainnya, membuat keutuhan bidangnya terguncang.

Dengan karya ini tampaknya Semsar menyindir kelakuan negeri-negeri makmur anggota "G8". Negeri G8 mengontrol miliaran manusia di ratusan negeri lain yang lebih lemah, memaksakan kehendak, melakukan cuci otak dengan perangkat kerja yang supercanggih, dan seterusnya.

Ketimpangan ini mendapat penekanan oleh pilihan cerdas Semsar dengan citra pizza, jenis santapan populer, yang menggiring kesan akan pesta pora makan sebagian kecil manusia di atas penderitaan lainnya.

Semsar melengkapinya dengan 11 "obyek" lain yang diletakkan di lantai di depan G-8. Semua obyek itu juga dibuat dengan karton bekas wadah sepatu, yang konon ia pungut dari tempat sampah. Ia membentangkannya dan memperlihatkan goresan charcoal yang ia buat berupa wajah-wajah manusia, bedil, dan tubuh-tubuh. Ia mendongkraknya dengan judul-judul yang membawa pesan khusus seperti Blinded by UN, Introduction WTO Chapter Two, dan City of Ghosts.

Nada dasar serupa muncul dengan kuat dari sejumlah lukisan hitam putihnya. Sebutlah itu seperti The Death of an Ancestor, yang melawan aksi penebangan kayu secara membabi buta. Pada sebuah gelondong kayu yang sudah terpotong itu tampak bayangan seorang ibu mendekap anaknya, dan seekor rusa kutub menjilatinya. Peralatan tebang mencengkamnya dan beberapa orang tampak tertunduk lesu. Penebangan itu menghancurkan segalanya.

Dengan teknik drawing-nya yang kuat, yang terkadang menonjolkan serabut-serabut garis untuk menandai gejolak atau suasana keras tertentu, lukisan-lukisan Semsar menggugah lewat tatapan visualnya.

Sebagian dari pesannya tertangkap dengan cukup mudah seperti lukisan yang sudah disebut, serta The Case of Burn Church atau serial totemnya. Third Millenium Totem 1, misalnya, menggambarkan pergulatan manusia cerdas dengan teknologi dan kecemasan manusia. Itu muncul lewat simbol-simbol seperti otak di kepala terbuka, peralatan canggih, serta sepasang mata yang membelalak. Kita bisa menangkap drama kehidupan yang berlangsung di sebuah apartemen lewat sejumlah fragmen yang disusunnya dengan tinta di atas kertas berukuran 56 x 76 cm berjudul Theatre Apartment ini.

Banyak lukisan lainnya yang lebih memberi demonstrasi visual yang menarik, namun membutuhkan alat bantu untuk menyibaknya lebih dalam. Derita muse di dalam The Scream of a Muse hanya bisa kita raba, demikian juga seberapa berharga sebuah kediaman atau atmosfer bagi seseorang seperti Victoria in Me. Lukisan The Poet Who Dissapeared mengingatkan kita akan nasib penyair pejuang Widji Thukul, namun apakah karya ini bertolak atau dipersembahkan untuknya, tidak cukup tanda atau isyarat yang diberikan.

Demikian juga dengan lukisan-lukisan cat minyaknya. Presiden Amerika Serikat Bush yang memegang hulu ledak nuklir gampang dikenali, apalagi ia memberi judul The Man Who Knows All. Demikian juga dengan Homage to Andy Warhol yang ditujukan kepada pendekar seni pop itu, atau In Memoriam Santa Cruz yang mendesakkan ingatan akan korban-korban di dalam peristiwa berdarah di Timor Timur tersebut.

Beberapa karya cat minyaknya tampaknya memang tidak perlu berkait dengan "perjuangan kemanusiaan" itu, seperti misalnya The Waiting Soul yang muncul dengan sendu. Bahkan, The Springs Full Moon 1, atau lebih lagi The Spring Full Moon 2, menjadi alternatif dari sebagian besar lukisannya yang memang diniatkan sebagai semacam ajang penyadaran. Di dalam dua lukisan yang disebut terakhir itu, Semsar menunjukkan dirinya sebagai manusia seniman, yang punya sisi kehidupan lain.

Selamat datang Semsar. (EFIX)

Perupa Kontroversial Semsar Siahaan Tutup Usia
(Kompas, 23 Pebruari 2005)

Semsar Siahaan (53), perupa kontroversial yang kerap melancarkan protes, antara lain dengan membakar patung Irian Dalam Tarso karya dosennya di Institut Teknologi Bandung (ITB), meninggal dunia di Tabanan, Bali, Rabu dinihari.

Pria yang terlahir di Medan, Sumatera Utara, 11 Juni 1952 itu, meninggal dunia setelah pada Senin (21/2) petang lalu sempat jatuh pingsan, sehingga harus dilarikan ke RSUD Tabanan, sekitar 20 km barat Kota Denpasar.

Diperoleh keterangan, petang itu Semsar bersama beberapa tukang batu, bergiat membangun sebuah bak penampungan air di rumah dan lahan miliknya, di Dusun Kesambi, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sekitar 15 km utara Kota Tabanan.

Sedang asyik mengawasi pelaksanaan "proyek" tersebut, alumnus ITB angkatan 1977 itu, tiba-tiba jatuh pingsan, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Dr Sri Karyani, Humas RSUD Tabanan mengatakan, setelah memdapat perawatan secukupnya, Semsar pada malam harinya bisa siuman, dan langsung bisa diajak berkacap-cakap mengenai keluhan penyakitnya.

Kepada perawat, pria yang juga kerap mendemo pemerintahan Presiden Soeharto itu, mengeluhkan rasa sakit di bagian dada, sesak nafas dan lemas.

Sri mengungkapkan, sejak masuk rumah sakit sekitar pukul 20.00 Wita malam itu, kondisi kesehatan Semsar sebenarnya sudah tampak mulai pulih, namun di luar dugaan pada Selasa (23/2) jelang tengah malam, daya tahan tubuhnya drop total.

Mengatasi kondisi yang kritis seperti itu, dokter yang siaga melakukan berbagai upaya, namun tak berhasil menyelamatkan nyawa Semsar, yang pada Rabu dinihari sekitar pukul 00.56 Wita menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Semasa aktif sebagai mahasiswa pada Jurusan Seni Rupa dan Disain ITB. Semsar juga dikenal sebagai "anak didik" yang bandel, tidak saja sering protes, tetapi juga berulah, sehingga harus berurusan dengan pihak kepolisian di Bandung.

Ulah mahasiswa "nyentrik" yang sempat menggegerkan dunia seni rupa itu, antara lain sempat melancarkan protes dengan membakar patung Irian Dalam Tarso, karya Prof Soenarjo, dosen pada perguruan tinggi tersebut.

Akibat aksi yang dianggap telah memusnahkan patung "keramat" yang sempat tampil dalam sejumlah pameran di mancanegara itu, Semsar sempat mendekam dalam bui.

Citara Siahaan, adik kandung korban, menyebutkan, jenazah almarhum akan diberangkatkan ke Jakarta sore ini, sekitar pukul 16.00 Wita dari Bandara Ngurah Rai. "Kita masih nunggu keluarga yang lain, yang menyusul akan tiba di Bali, baik dari Medan maupun Jakarta. Setelah itu jenazah langsung diberangkatkan," ucapnya. (Ant/Eh)


The Shade of Northern Lights
(diambil dari buku The Shade of Northern Lights)

Lima tahun tiga bulan aku meninggalkan Indonesia. Berangkat dari benua belahan Selatan, aku menetap di benua belahan Utara, berkontemplasi, katakanlah, di sebuah negeri yang bernama Kanada. Tiga puluh satu juta jiwa penduduknya, negeri itu membentang luas dari Samudra Pasifik hingga Samudra Atlantik, beratapkan Kutub Utara. Kanada negeri yang dingin, panas, penuh warna, terkadang terkesan ‘datar.’ Di sini pun ada konflik kemanusiaan, namun dibungkus dengan lembut, dingin dan halus, dalam tenunan berhias ornamen indah seperti 'multikulturalisme,' 'hak warga,' dan 'kebebasan bicara.' Inilah negara yang masuk kelompok G-8, negara industri maju, yang ternyata masih harus menghidupi sejumlah besar manusia tanpa rumah, yang dipinggirkan dan harus mengais-ngais tong sampah untuk menyambung hidup. Di sini, manusia-manusia muda hidup terkatung-katung, tanpa kasih sayang, sebagai korban keruntuhan nilai keharmonisan hubungan kekeluargaan, di dalam lingkaran setan. Mereka terbungkam, terbutakan, terjejal oleh jaminan kesejahteraan sosial yang memberikan hanya pelipur lara berupa materi. Negeri ini, seperti juga Indonesia, tumbuh dalam alam purbasangka yang menyakitkan dan akut. Seperti juga Indonesia, negeri ini masih mencari sosok dirinya. Sementara tanahnya telah ditempati masyarakat asli beribu-ribu tahun, negaranya masih harus melihat perjuangan First Nation, begitulah masyarakat aslinya lazim disebut, untuk mempertahankan identitasnya dari pemusnahan sistematis, meskipun dengan keberdayaan yang sangat kecil. Tanah itu, setidaknya bagi telingaku, melantunkan kisah-kisah tentang suramnya cahaya utara. Kanada, kebanyakan rakyatnya, mulai merasakan dampak mengerikan lindasan roda mesin neo kapitalisme berskala global yang adidaya dalam era World Trade Organization

Karya-karyaku dalam asa perantauan pun berangkat dari pengalamanku sehari-hari, ketika menelaah masalah kemanusiaan di sekitarku. Terkadang, pengalamanku menghadapkan aku pada kekerasan terhadap jiwa di dalam perantauan. Kekerasan itu mengancam secara licik, melalui diskriminasi dan konspirasi yang terbentuk oleh tabiat para intelektual neo kolonial busuk bermentalitas pencuri dan rakus. Kekejaman terencana itu menggunakan kekuasaan institusional dan uang untuk ’membunuhku’ dengan menghina dan melecehkan, melalui media teknologi informasi global, atas nama kebebasan bicara. Lima tahun aku hidup dalam keadaan tertekan, menahan amarah dan terus bersabar, dan hingga kini aku masih menghadapinya. Ternyata, hukum bukanlah dongeng yang indah.

Seperti dahulu, masih dalam pemikiran dan perenungan yang sama, aku berpegang teguh bahwa Manusia adalah sang Pencipta Seni dan Seni adalah ciptaan Manusia. Dalam kondisi kemanusiaan terancam, adalah Seniman yang harus melangkah di depan sambil mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Masalah-masalah yang menjadi beban kemanusiaan telah mengglobal, sehingga problema kemanusiaan memiliki kemiripan di seantero benua. Terpadunya esensi permasalahan manusia, meskipun wujud dan latar belakang budayanya beraneka ragam, telah memberi tanda-tanda akan bangkitnya sebuah semangat baru Solidaritas Rakyat Global untuk Kesetaraan, Keadilan dan Persaudaraan. ’Keberhasilan’ negara-negara mega kapital dalam menciptakan panggung global bernama World Trade Organization yang membuka pasar bebas bagi penganut demokrasi kaum pedagang, ternyata justru memperdalam jurang antara si Kaya dan si Miskin. Jurang itu pun mencakup segregasi ikatan sosial yang terjadi di negara-negara G-8 sendiri.

Hal-hal seperti di atas itulah yang akan tetap menonjol dan utama. Bentuk dan isi bercampur menjadi satu kesatuan, yang berangkat dari pengalaman hidupku sebagai bagian dari masyarakat global. Semangat berkarya seniku masih selalu menjauh dan mengambil jarak dari ’ke-Indah-an’ yang manja, spoilt beauty, serta eksotisme tradisional yang menuntut belas kasihan. Keindahan yang dipenuhi tata krama yang berkarat dan basi, bagiku, tidak akan pernah menjadi tantangan bagi dunia Penghayatan dan Berpikir.

Kesenian telah memasuki era baru. Situasinya adalah cerminan cengkraman ekspansi global kapitalisme dan situasi itu memanggil kaum seniman sedunia untuk membangun ikatan kerjasama, kolaborasi antar urban, kolaborasi antar budaya lokal. Itulah kolaborasi kesenian masyarakat terpinggirkan oleh dampak globalisasi.

Maksud dan tujuan dari Seni dan Ber-Kesenian adalah mempersatukan di dalam kebersamaan, sehingga kita menyongsong Solidaritas Rakyat Global demi Kesetaraan, Keadilan dan Persaudaraan.

Semsar Siahaan

21 Juli '04

No comments: