'Istana Jiwa' Putu Oka Sukanta


Novel sejarah yang berlatar belakang kisah dari para penyintas tragedi kemanusiaan 1965-1966 ini semakin memperjelas potret buram kehidupan yang lahir akibat konflik politik yang pernah terjadi di bumi ini. Tragedi kemanusiaan yang telah menuliskan sederet catatan hitam dan menorehkan derita berkepanjangan bagi sebagian anak bangsa memang masih menyisakan banyak misteri. Sulitnya kebenaran diungkap disebabkan oleh sedikitnya dokumen yang ditemukan yang dapat merangkai secara kronologis tentang apa yang sesungguhnya telah terjadi, maka untuk mengisi kekurangan sumber primer sebenarnya masih diperlukan lebih banyak tuturan para penyintas sebagai tradisi lisan, yang dapat mengurangi munculnya beragam versi seperti apa yang tertulis dalam kebanyakan buku-buku sejarah saat ini.

Tuturan kisah dalam novel ini banyak berkisah tentang perempuan-perempuan tangguh yang berjuang untuk tetap bertahan hidup di tengah masyarakat yang telah memberi mereka stigmasi buruk, kondisi ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Berjuang untuk terus bertahan hidup, membesarkan anak-anak yang terpaksa ditinggalkan oleh ayah-ayah mereka, tidak membuat perempuan-perempuan ini kehilangan orientasi hidup, karena perlakuan diskriminatif masyarakat tersebut. Dan itulah yang telah mereka lakukan dari hari demi hari, bulan berganti, tahun berkejaran, telah menenggelamkan mereka dengan pengorbanan, kerja keras dan dalam ketidakpastian untuk sebuah penantian serta harapan yang panjang bagi kepulangan suami-suami mereka yang telah ditangkap sebagai tahanan politik

Ada beberapa hal menarik dalam tuturan kisah dalam novel ini diantaranya adalah dekonstruksi tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan. Pertentangan yang selama ini muncul dan didasari oleh adanya system dan struktur budaya patriarki dimana sering menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki tampaknya harus dihilangkan. Oposisi biner yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah, perempuan pengatur rumah tangga, laki-laki berada di ranah publik dan perempuan untuk semua yang bersifat domestik, laki-laki selalu lebih rasional dan perempuan emosional, tidak tergambar sama sekali dalam novel ini. Sebagian dari mereka memang pernah menjadi anggota organisasi gerakan perempuan yang cukup militan, tetapi medan juang yang mereka hadapi saat itu lebih keras dari ketika mereka memperjuangkan kepentingan perempuan secara progresif revolusioner.

Hal menarik lainnya dalam tuturan novel ini, mengajak pembaca untuk dapat berpikir secara logis tentang dua kutub yang sering dipertentangkan yaitu soal agama dan ideologi komunis. Benarkah ketika seseorang berada di dalam keyakinan ideologi tersebut telah menjadikannya atheis? Soal agama adalah soal keimanan, dan ideology adalah kumpulan cita-cita dan harapan untuk sesuatu yang lebih baik. Keduanya akan dapat saling menguatkan untuk sebuah pencapaian, tokoh Maria dalam novel ini memberikan gambaran yang utuh tentang hal itu. Ia menjadikan ideologi sebagai roh dalam kehidupannya, dan menyatukannya dengan agama sebagai keyakinan dalam keimanannya. Tumbangnya rezim Orde Baru telah membawa perubahan politik negeri ini ke arah keterbukaan. Pembebasan dan pemulangan para tapol dari kamp-kamp tahanan tak semuanya berakhir dengan kebahagiaan. Panjangnya masa penantian, doa-doa yang penuh harapan tak seluruhnya terbalas dengan pertemuan yang menyenangkan. Tekanan psikologis selama bertahun-tahun menjalani hukuman yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan telah merubah sebagian mereka menjadi orang-orang dengan kepribadian yang berbeda. Banyak juga dari mereka yang berusaha untuk membangun kembali harkat kemanusiaannya, dengan integritas dan usaha untuk mendapatkan kekuatan baru, dan mereka memang berhasil. Tetapi sebagian lainnya tidak lagi dapat merasakan memiliki otoritas untuk menjadi bagian dari keluarganya sendiri, bahkan merasa menjadi beban bagi kehidupan anak dan istrinya karena tak lagi mampu memberikan nafkah. Mereka inilah yang digolongkan sebagai orang-orang yang tidak mampu bangkit dari keruntuhan sebuah harga diri, korban tragedi yang merasa asing berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya, sehingga memunculkan sebuah konflik batin yang baru. Seperti yang digambarkan pada tokoh Rampi dalam novel ini.

Selebihnya novel ini sangat layak dan perlu untuk dibaca, terutama oleh para generasi muda, agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang lagi.

Jakarta, 5 Januari 2012  

Ratna Hapsari, Ketua Asosiasi Guru Sejarah se Indonesia.

No comments: