Wiji Thukul Wijaya

Oleh R. Von der Borch | Tanah Air | No 5 | Edisi Desember 1990

Tak pelak dunia sastrapun dijadikan medan yang menegangkan oleh penguasa ketika ekspresi seorang seniman mengandung kekuatan yang, katakanlah dapat menerbitkan kesewenang- wenangan sang penguasa. Sementara itu, sang seniman menapaki lingkungan sekitarnya sebagai medan acuan buah karyanya, yakni berusaha memasukkan proses produksi karyanya kedalam proses social setempat. Sebuah langkah vital untuk menghadapi tirani! Von der Borch dalam tulisan ini memberikan gambaran lingkungan Wiji Thukul sebagaimana dia menapaki perkembangan diri dan pertumbuhan puisinya.

Inilah puisi jalanan, puisi ngamen,
puisi yang tidak butuh legitimasi
dari dewan kesenian,

WTW, 7/9/87

Wiji Thukul Wijaya lahir di Sala 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak. Keluarganya katolik, dan diapun masuk SD katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar
di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada tahun 1980. Di Solo, Thukul dibesarkan di sebuah kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Berapapun tambahan penghasilan dari anak istri bias sangat penting artinya. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampong.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkahnya sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah mejadi tukang Koran, tukang semir mebel di suatu perusahaan kecil di kampung, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan. Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antalogi 4 Penyair Solo. Kumpulan terbaru Thukul berjudul Suara. Dia memproduksi sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: "Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi."

Kegiatan Thukul dalam teater dan berbagai bentuk seni panggung telah melibatkannya dalam kelompok topeng pada Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), serta kelompok teater kampong bernama " Sarang Teater Jagat ". Teater Jagat dibentuk tahun 1978 oleh Cempe Wisesa Laluwarta telah aktif sampai awal 1987. Kegiatannya meliputi ngamen, pementasan di kampong yang melibatkan penduduk setempat , serta pertukaran teater antar kelompok di berbagai kampong lainnya.
Dalam 1987 Thukul terlibat dalam suatu kegiatan yang sama sekali baru baginya. Setiap minggu pagi pada awal tahun itu dia lewatkan dengan melukis bersama dua puluh anak-anak kampungnya, serta sebagai pencerita ulung. Tentang itu dia menjelaskan: "bila mereka lelah, saya bercerita ". Juli tahun itu pula dia ditawari pekerjaan sebagai penyair tamu/mondok (poet in residence ) di Cirebon serta pesisir utara Jawa Barat dengan tugas merekam kehidupan sehari-hari rakyat perkampungan nelayan di sana. Tawaran ini diterimanya dengan antusias. Selain itu ada pula tawaran lain (yang realisasinya tergantung ketersediaan dana) untuk menyelenggarakan loka-karya teater bagi anak-anak kampong di Sukabumi, Jawa Barat, bersama dua orang seniman dari Yogya.
Thukul terbilang luar biasa dalam hal latar belakang kampungnya, dan ketiadaan pendidikan formal ternyata sama sekali tidak menghalangi keterlibatanya yang luas dalam berbagai kegiatan kesenian setempat. Kepercayaan diri serta prestasi yang dicapainya selama ini antara lain berkat persahabatannya dengan Halim HD, budayawan Sala yang pertama mendorongnya untuk membacakan sajak-sajaknya di muka umum, serta terus memerus melibatkannya dalam kegiatan umum seniman Jawa Tengah. Akan tetapi tingkat keterlibatannya ini pun dipengaruhi oleh sikap pribadinya terhadap pendidikan dan pengetahuan. Kita dapat merasakan sikapnya tersebut melalui komentarnya sebagai berikut:
"Di desa tempat saya bekerja, gadis gadisnya rata-rata takut sekali kepada "anak anak sekolah". Rasa rendah diri mereka kuat sekali. Tapi di kotapun, di kampung saya juga, hal itu menjadi kondisi umum yang merata. Memang penyakit yang sedang menggerogoti dunia saat ini "kelumpuhan mentalitas". Dalam istilah Paulo Fraire mungkin kelumpuhan mentalitas itulah yang dinamakan sebagai "silence culture", kebudayaan bisu. Dan obatnya adalah penyadaran. Banyak yang terkejut maupun terhibur oleh pemakaian tradisi ngamen sebagai sarana Thukul membacakan sajak-sajaknya dimuka umum . Walaupun baginya yang penting dalam hal ini (selain sebagai sumber penghasilan yang penting) sangatlah jelas:
Aku keluar masuk kampong -ngamen baca puisi dari pintu ke pintu. Dari rumah ke rumah dari jam lima sore sampai jam sembilan malam. Sendirian.
"…panggungnya" bukan di 'pentas' tapi di halaman masyarakat umum'. (jadi lebih majemuk. Bukan cuma kaum peminat sastra seni saja!) Dari ngamen puisi itu aku mendapat input dan kritik langsung dari masyarakat. Bahkan ada yang mengajak berdialog… Dari ngamen puisi itu juga aku mendapat informasi yang tidak mungkin kudapatkan dari siaran resmi radio, Koran maupun televisi, yang kumaksudkan adalah 'protes-protes terpendam' ketidakpuasan -ketidakpuasan masyarakat bawah kepada kebijaksanaan -kebijaksanaan pemerintah' yang jarang diungkapkan tapi ada.
September 1987, Thukul mengambil langkah yang tidak pernah ia tempuh sebelumnya dengan menghadiri acara tahunan Pertemuan Penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta sama sekali tanpa maksud untuk mengambil bagian secara resmi, melainkan "Tujuan saya datang ke pertemuan itu adalah untuk 'mengacau' dan bicara: inilah puisi jalanan. Puisi namen." Untuk acara ini Thukul dan Halim HD menyiapkan selebaran berisi lima sajak dalam bahasa Indonesia (Nyanyian Abang Becak, Sajak untuk D, Peringatan dan Sajak Suara) dan satu berbahasa Jawa Geguritan Iki Mung Pengin Kandha (sajak ini hanya ingin bercerita), lengkap dengan pengantar terhadap sajak Thukul terhadap Halim. Selebaran selebaran ini yang Thukul bagi-bagikan (dalam gaya yang mengingatkan kita pada Rendra) sewaktu pembacaan, diberinya judul yang provokatip "Sastra Ngamen-Sastra Gugat". Lengkap dengan ilustrasi gambar badan terbelenggu dengan kedua tangan berusaha membebaskan diri dari rantai. Pernyataan ini mengandung dua tantangan. Pertama penggunaan istilah "Sastra Ngamen" telah memberikan pengakuan artistik pada karya Thukul serta seniman lain yang pilihan estetikanya tidak sejalan dengan ataupun tidak sesuai dengan kaidah umum yang dianut para seniman lain. Pernyataan ini secara terang terangan menggugat mereka yang berpendapat bahwa kata-kata 'sastra' dan 'ngamen' (ataupun makna yang diwakilkannya tidaklah mungkin untuk disejajarkan. Tantangan kedua -lebih tegas dan lugas, yaitu gugatan politiknya kepada masyarakat luas.
Bekerja ditingkat paling bawah selalu merupakan titik dimana teori dan praktek kreatip Thukul bertemu. Namun lebih dari sekedar pendekatan, pengalaman hidupnya sendiri bersama kaum miskin kota memang telah mewarnai seluruh karyanya, baik dalam segi estetik maupun isinya. Seluruh karyanya mengandung keaslian yang tidak dapat disangkal, serta ekspresi pribadi keprihatinan sosial yang dalam, yang semata-mata lahir dari pengalaman hidupnya sendiri.
Keprihatinan Thukul yang secara polos dia ungkapkan dalam karya-karyanya meliputi seluruh sisi kehidupan dan pengalaman mereka yan hidup di pinggiran. Ketimpangan sosial, apatisme yang diraksukan dan ketidak-tahuan yang mencekik kaum miskin dan renta, pemberangusan suara buruh yang menuntut perubahan sosial, penindasan sewenang wenang terhadap para pekerja dan aktivis sektor informal, sensor serta perpecahan akibat politik parpol merupakan persoalan-persoalan utama yang senantiasa merebut perhatiannya. Catatan 27.5.86 mengungkapkan penindasan hak hak buruh pekerja murah, telah dia tarik dari pengalaman pribadinya sebagai penjual koran. Penindasan terhadap pekerja sektor informal pedagang kaki lima, tukang becak serta pelacur yang hidupnya tidak pernah lepas dari perjuangan menghadapi arus masyarakat industri yang semakin materialistik, merupakan fokus dari puisinya seperti Sajak setumbu nasi sepanci sayur dan Nggladag Slamet Riyadi. Keganasan yang inheren dalam masyarakat industri sebagaimana dirasakan oleh anggota terlemah, merupakan tema puisinya Sajak anak-anak kita dan Kota ini milik kalian. Catatan hari ini melukiskan- melalui baris-baris pendek, kesulitan penduduk kampung serta pernyataan pribadi Thukul akan peran yang dimainkan oleh kesenian dalam situasi demikian. Sebuah perkembangan ide menarik dalam puisinya dapat dijumpai dalam Kepada Wiyono yang membahas secara meluas dan terinci ekonomi dan psikologi kehidupan kampung. Mundurnya budaya tradisional (terutama budayanya kaum miskin perkotaan serta penduduk pedesaan di Indonesia saat ini) dalam proses 'modernisasi' merupakan fokus dari Pasar malam Sriwedari.

Konsisten dengan gayanya yang khas, kajian politik Thukul terungkap dalam sajak-sajaknya melalui uraian atas berbagai hubungan dan pengalaman pribadinya. Pengertian yang abstrak mengenai ketidak-adilan struktural dan institusional telah menemukan bentuknya melalui pendapatnya tentang realitas sehari-hari. Setiap bait sajaknya spesifik, kuat berakar pada lokasi dan saat tertentu dari pengalaman setempat.
Karya Thukul tidak pernah lepas hingga menjadi puisi propaganda yang anonim. Puisinya sama sekali tidak memohon belas kasihan maupun uraian bertele-tele mengenai kaum miskin yang terhormat, dua hal yang biasanya mengurangi nilai puisi atau pun tulisan para seniman dari kelas sosial yang lebih tinggi, meskipun sebenarnya merekapun simpati pada masalah sosial serta ingin pula menyatakan solidaritasnya terhadap golongan yang mereka tulis. Pokok keprihatinan yang diungkapkan dalam karya Thukul tidak pernah anonim, serta tidak pernah berkembang menjadi 'isu'. Dia selalu memberi nama, wajah, serta perasaan terhadap kemiskinan, ketertindasan serta diskriminasi sosial, hal mana hanya mungkin dilakukan oleh orang yang menulis dari dalam saja, tanpa kecendrungan menempatkan ketidak-adilan pada situasi yang acak ataupun menganggap penderitaan manusia semata-mata sebagai akibat saja dari ketidak sempurnaan perseorangan.
Dalam suatu surat terbuka kepada Emha Ainun Najib, Juli 1986, Thukul mengungkapkan kengeriannya atas ketidak adiilan dan penindasan yang sengaja dilakukan dalam masyarakat Indonesia: Aku jadi semakin yakin bahwa budaya bisu betul betul sudah meraksuk kedalam kehidupan bermasyarakat kita ! Ini gawat. Komunikasi direduksi jadi kebuntetan. Dialog seperti sengaja dihindarkan . Aku merasa kita ini dibodohkan. Dan dibutakan! Aku kini betul betul merasa bahwa kita ini betul-betul sedang dininabobokan. Oleh siapa ? Oleh masyarakat kita sendiri dan oleh perangkat-perangkat sistem yang ada dalam masyarakat kita sendiri ! Dan itu berlangsung dengan amat mekanis sekali. Persis mesin. Begitulah yang kurasakan mas…"
Sebelum kejadian yang membuatnya menulis surat tersebut, penjelesannya dalam hal hubungan antara penguasa dan mereka yang secara formal tidak berdaya dalam masyarakat sempat tercermin dalam puisinya : Pulanglah nang dan kota ini milik kalian misalnya, yang secara spesifik membahas hal tersebut. Akan tetapi, baru pada akhir 1986 dan 1987 lah puisinya memperlihatkan perkembangan mencolok dari tema yang secara provokatip dia nyatakan dalam suratnya kepada Emha tersebut. Perkembangan ini terwujud baik dalam puisinya maupun dalam perhatiannya yang semakin meningkat terhadap puisi ngamen serta keterlibatanya yang mencolok dalam berbagai kegiatan budaya Jawa. Contoh yang paling menarik dari perkembangan ini adalah sajaknya yang berjudul Peringatan yang muncul dalam dua versi. Versi 1986 berbunyi sebagai berikut:

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat berbisik-bisik
Ketika berbicara
Penguasa harus waspada
Dan belajar mendengar

Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
Bila rakyat patuh patuh
Penguasa harus mencari sebabnya
Bila omongan penguasa tak ada yang membantah
Kebenaran pasti terancam
Bila usul ditolak
Kritik dilarang
Dengan dalih menggangu keamanan
Berarti penguasa sedang ketakutan
Kekerasan pasti digunakan
Maka berhati-hatilah

(1986)

Sedangkan versi 1987-nya berbunyi sebagai berikut:
Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan !

Kedua versi Peringatan tersebut secara spesifik membahas hubungan antar penguasa dan yang tidak berkuasa. Versi yang terakhir, tidak hanya lebih explisit dari yang sebelumnya, melainkan juga membela suatu pendekatan yang sama sekali lain terhadap persoalan yang diuraikan. Patut dicatat bahwa sementara baris terakhir dari versi pertama berbunyi: "maka berhati-hatilah" maka pada versi berikutnya terbaca: "maka hanya ada satu kata: lawan!" Dalam versi kedua ini tersirat beberapa perubahan persepsi yang nyata terhadap hubungan-hubungan yang dibahasnya. Yang pertama berisi penerimaannya bulat-bulat terhadap sikap rakyat yang pasif: "bila ada omongan penguasa tak ada yang membantah/kebenaran pasti terancam" sedangkan yang kedua berbunyi: "dan bila omongan penguasa/tidak boleh dibantah/kebenaran terancam" Thukul menghapus eufemisme yang digunakan para penguasa sebagaimana tertulis dalam versi pertamanya "dengan dalih menggangu keamanan" serta menggantikannya dalam versi kedua dengan ungkapan yang lebih kuat: "dituduh subversi". Ini menunjukkan pendekatan yang sama sekali berbeda. Ketidak puasan serta ketidak-percayaan pada sistem politik dan sistem partai dikemukakan dalam puisinya pasca Pemilu 1987: Aku lebih suka dagelan, yang menyoroti perpecahan diantara kaum miskin sebagai akibat dari politik partai, dimana tidak satupun pilihan akan membawa perubahan bagi mereka. Akan tetapi, terlihat pula keyakinan baru pada perlawanan dan oposisi, sebagaimana ditulisnya dalam sajak Suara dan Syair kemerdekaan. Kebutuhan untuk secara giat membangkitkan kesadaran kritis kaum miskin serta melawan ketakutan dan apatisme, telah menjadi tema tetap dari sajak-sajaknya yang terakhir. Dua contoh, masing masing Untuk D dimana dia menyatakan kekecewaanya terhadap budaya banyak cakap sedikit kerja serta Sajak yang mengungkapkan keyakinan barunya akan peran yang dimainkna sebagai penyair dalam menentang budaya bisu disekitarnya.
Beberapa sajak Thukul secara spesifik menyatakan keprihatinannya terhadap hubungan antara seni dan kepedulian sosial. Apa yang berharga dari puisiku mungkin merupakan penjelajahannya yang paling intensip terhadap hubungan ini. Judulnya merupakan merupakan bait yang diulang-ulang sepanjang sajak, terselip di antara baris-baris yang melukiskan betapa dahsyatnya penindasan dan ketidak adilan yang dialami keluarga berserta para tetangga mereka. Ayolah Warsini membahas hal yang sama, akan tetapi mendekatinya dari sudut yang lain, serta dalam nada berhubungan dengan dengan kegiatan kelompok teater kampungnya, menyoroti ketidak-yakinan dan ketakutan yang harus diatasi padar anggota kelompok untuk ikut terlibat :

Warsini !Warsini !
apa kamu sudah pulang kerja Warsini
apa kamu tak letih seharian berdiri di pabrik
ini sudah malam Warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi
karena majikanmu curiga kamu membawa bungkusan moto

atau apakah kamu mampir di salon lagi
berapa utangmu minggu ini
apa kamu bingung hendak membagi gaji

ayolah warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul lagi disini
kita akan latihan drama lagi
ayolah Warsini
kamu nanti biar jadi mbok bodong
si Joko biar menjadi rentenirnya

jangan malu warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
biar kamu Cuma buruh
dan sd saja tak tamat

ayolah Warsini
mas Yanto juga tak sekolah Warsini
iapun cuma tukan plitur
Mami juga tak sekolah
kerjanya mbordir sapu tangan di rumah
Wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat bayar uang pangkal sma
Partini penjahit pakaian jadi
di perusahaan milik tante Lili
kita sama sama tak sekolah Warsini

ayolah warsini
ini sudah malam Warsini
ini malam minggu warsini
kami sudah menunggu di sini

Surakarta 9/1986

Sajak ini tidak hanya memberikan gambaran mendalam dari bekerjanya kelompok teater tersebut, melainkan juga latar belakang para anggotanya, serta mengungkapkan dukungan dan kesetia-kawanan antar anggotanya. Keyakinan Thukul akan efek pembebasan dari mendorong perkembangan serta ekspresi pribadi serta kreativitas kolektip di antara rakyat miskin juga terasa dalam sajak tersebut. Keyakinan ini pulalah yang membawanya pada kegiatan bersama anak-anak sekampung seperti diuraikan sebelumnya.
Sementara pengalaman setempat merupakan titik awal dari setiap pernyataan kritik sosialnya, sajak-sajaknya memiliki kemampuan untuk melibatkan secara sangat spontan, hati dan pikiran para peminat yang dipilihnya. Hal ini telah menjadi basis dalam menentukan pilihan estetiknya. Sajaknya disusun untuk pertunjukan kampung, seringkali berbentuk deklamasi dengan kalimat-kalimat pendek serta uraian yang langsung dan persis. Sering pula sebagimana hanya Ayolah Warsini, terdapat pengulangan baris-baris yang penting dalam bentuk syair. Hal ini sengaja dia pilih, dan ternyata sangat membantuk serta memberikan kekuatan luar biasa pada sajak-sajaknya ketika dibacakan pada pertunjukan.
Gaya bahasa puisi Thukul pun merupakan segi yang berhubungan dengan kesadaran para peminatnya, bagi siapa dia menulis. Beberapa dari sajaknya yang terkenal dia tulis dalam bahasa campuran Jawa- Indonesia yang secara instrinsik menarik, sebab merupakan suatu gejala delam proses menuju suatu kebudayaan 'nasional' Indonesia. Akan tetapi, latar belakang penggunaan bahasa campuran dalam sajak-sajak Thukul lebih karena merupakan bahasa sehari-hari. Hal ini menyebabkan sajaknya lebih mudah dicerna oleh penduduk kampung, serta lebih meningkatkan kemampuannya menyampaikan pikiran serta perasaan.
Pada hakikatnya, pilihan-pilihan estetik inilah yang memberi sajak Thukul ajakan tertentu bagi para peminatnya. Pilihan itu dilakukannya berdasarkan keyakinan bahwa bentuk keindahan haruslah sesuai dengan kenyataan sosial dimana suatu karya dilahirkan. Sepanjang praktek kreatipnya Thukul senantiasa dibimbing oleh keyakinan ini, sebagaimana terungkap melalui debat 'sastra kontekstual' oleh Arief Budiman dan lain-lain, bahwa tidak ada kriteria keindahan yang universal bagi seluruh karya seni. Nilai keindahan selalu ditentukan oleh pengalaman sosial yang bersangkutan.
Pilihan estetik yang demikian, pada hakikatnya merupakan pilihan politik yang dapat menggemakan sikap politik para seniman pelakunya. Pada dasarnya ini pulalah sebabnya Thukul berkali-kali harus berhadapan dengan polisi setempat serta penguasa daerah. Pak Lurah telah melarang membaca puisi dikampungnya sendiri. Salah satu kejadian ini telah dia singgung dalam surat terbukanya kepada Emha Ainun Najib:
Aku jadi ingat ketika diinterogasi di kantor polisi oleh intel bersepatu. Aku diinterogasi oleh pak intel gara-gara puisi yang kubacakan di panggung 17 Agustus di kampungku. Pak intel menyarankan kepadaku supaya aku tidak bikin puisi yang 'tidak-tidak'. Kalau ada apa-apa kasihan orang tuamu, katanya lagi dengan lebih meyakinkan. "mbok kalau bikin puisi itu yang baik-baik saja mas…"
Thukul menyebut sebagian dari sajak-sajaknya sebagai 'hits' karena selalu disambut hangat oleh para penggemarnya ketika dibacakan keras-keras. Dua diantaranya adalah Darman, yang bercerita pengalaman pahit suatu keluarga desa yang mengadu nasib di kota , dan abang becak yang membahas kehidupan keluarganya sendiri serta berbagai pengaruh kebijakan pemerintah dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok pada perekonomian mereka. Deskripsinya tentang sajak-sajak tersebut sebagai 'hits' menunjukan bagaimana cara Thukul sendiri mengukur 'keberhasilan' artistik. Lebih dari itu, hal ini telah semakin memperkuat niatnya untuk bekerja dengan gaya tertentu diantara rakyat miskin dan awam, diluar jangkauan pranata resmi kebudayaan.

Kembalilah Widji Thukul
“Thukul, pulanglah!” seru Forum Sastra Surakarta, pertengahan tahun 2000. Tidak hanya di Solo, oleh para aktivis hak asasi dan sastrawan diteriakan juga seruan itu di Surabaya, Mojokerto, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta. Seruan itu meluas ke pelbagai kota lain. Toh sampai kini Thukul tak pulang-pulang jua. Di manakah Thukul? Ada yang bilang, ia bersembunyi di Jerman, mungkin juga di Belanda atau di Australia. Ada juga yang bilang, ia di sekap di kepulauan seribu.

Kalau manusia yang menyekapnya,mendingan. Sekurang-kurangnya manusia masih mempunyai hati nurani,betapa pun kejamnya dia. Tapi kalau ”momok hiyong” yang menahannya aduh, tak tahu lagi bagaimana nasibnya.Sebab, kata Widji Thukul sendiri,momok hiyong itu bukan main ganasnya. Maklum, momok hiyong bukan hanya sejenis hantu Jawa, yang ditakuti anak-anak tapi juga biang kerok jago bikin kisruh,akalnya bulus, siasatnya ular, kejamnya sebanding nero, sefasis Hitler, sefeodal raja ketropak. Momok hiyong itu doyan emas doyan hutan, doyan kursi doyan nyawa.

momok hiyong momok hiyong
berapa ember lagi
darah yang akan kau minum ?

(Momok Hiyong, 30 September 1996)

Jangan-jangan momok hiyong itu sudah mendoyani nyawa Widji Thukul sendiri. Jangan-jangan momok hiyong itu sudah meminum darah Widji Thukul. Kalau demikian, tak mungkin lagi Wiji thukul pulang. Dan kalau momok hiyong yang menelan nyawanya dan menghisapnya, susahlah kita mengurus kepergiannya. Percumalah upaya Kontras, percuma susah payah LSM, sia-sia jeritan rekan sastrawan. Momok hiyong itu tak mungkin di paksa mengaku, karena tak mungkin ia di temukan. Maklum ia hantu, roh jahat yang tak kasat mata, walau perbuatannya kelewat jahat. Jadi momok hiyong itu tak dapat di tangkap. Yang bisa dilihat dan ditangkap hanyalah kuasanya yang jahat. Untuk memahami kuasanya yang jahat itu. Sedikitnya sekarang anda sudah tahu, wujud nyata momok hiyong itu adalah kekuasaan yang menganggap manusia seperti tikus (Puisi Tikus, 6 Januari 1997 ): bisa dilindas,bisa diburai perutnya,dan dibuat berhamburan dagingnya. Jadi sebenarnya mudah juga mengalami momok hiyong itu. Rasakan ketika anda melihat orang-orang kecil dilindas habis seperti tikus dilindas kendaraanyang sedang lewat.
Tapi pada pokoknya momok hiyong itu roh, maka ia tak hidup terus. Kata wiji Thukul:
Momok hiyong momok hiyong
apakah ia abadi
dan tak bisa mati?
Karena roh itu abadi,dan sebagai roh ia jahat, maka kejahatannya juga meng-roh, dan mengabadi sampai kini. Sesungguhnya keabadian itu adalah rangkaian dari masa lalu/masa kini, dan masa depan. Tapi momok hiyong suka memutus rangkaian,dan membuat kesinambungan baru seenaknya sendiri. Kalau masa lalu menguntungkan, ya diambil untuk membenarkan kejayaannya di masa kini. Kalau masa lalu suram, ya tidak di pedulikannya sama sekali :

.....
begitu panjang riwayat bangsa tetapi hati ini kita baru pandai memuja
masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai semu
.....
( Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair, Mei 1985 )

Momok hiyong hanya mau apa yang megah mulia dari masa lalu. Ia lupa akan penderitaan masa lalu. Lupa, bahwa sungai pernah merah oleh darah kakek nenek kita, lupa akan bangkai kakek nenek yang mengapung di atasnya, mati ditembus peluru dalam perlawanan membela harta dan milik yang sekarang ini kita warisi:

.....
demi hutan air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang –batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah
bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak berpura-pura siapa.....

Sejarah ini tampaknya hanya mau ingat akan mereka yang agung
Dan besar, penguasa, raja dan pujangga. Sejarah hanyalah monumen yang mengingatkan akan kebesaran mereka .Sementara rakyat yang sesungguhnya adalah tulang punggung segala monumen peringatan kemegahan mereka, dilupakan begitu saja;
.....
dizaman kerja paksa rakyat membikin anyer panarukan
dengan air mata bangkainya
di zaman romusha jepang menanam kapas dengan
tangan rakyat kita
dalan dua perang dunia tak tahu apa-apa
pada upacara kemerdekaan bangsa kita selalu kita sebut
nama-nama agung
tetapi sejarahtahu berapa juta ember darah siapa
ditenggak sudah hidup hari ini
.....

(Catatan, tanpa tahun)

Mengapa sejarah hanya ingatan yang mudah lupa akan penderitaan rakyat biasa ? Ya, karena roh dari sejarah itu adalah momok hiyong, hantu yang membenci rakyat kecil dan menganggap rakyat keci seperti tikus yang begitu saja bisa dilindas. Momok hiyong inilah yang membuat sejarah menjadi “ sejarah melik nggendhong dali”. Roh momok hiyong yang penghisap darah rakyat tapi tak pernah kelihatan itu menjelma pada diri para penguasa, dan membuat mereka melik lalu lali. Karena kegendongan melik dan lali itulah dengan mudah mereka memutar sejarah, seakan-akan sejarah ini hanyalah diciptakan untuk memuja keagungan mereka. Maka sejarah ciptaan mereka yang dirasuki momok hiyong ini menjadi sejarah pelupaan yang lali (lupa) akan mereka-mereka yang kecil dan menderita. Salah satu korban kelupaan mereka adalah penyair Wiji Thukul sendiri. Dengan syair-syairnya,Wiji Thukul membela rakyat melawan momok hiyong. Ia mensyairkan penderitaan rakyat menjadi nyanyian, yang tidak enak didengar di kuping momok hiyong :

aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk untuk penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan

mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati

telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa, 18 Juni 1997)

Nyanyian penderitaan itu tersa dan terdengar bagaikan dupa mantra yang terus mengusik dan mengusir roh jahat tersebut. Momok hiyong tentu tidak suka akan nyanyian itu dan penciptanya sekaligus. Karena ia adalah roh yang tidak kelihatan, maka dengan cara roh yang tak terlihat pula, tiba-tiba ia meniadakan Wiji Thukul. Wiji Thukul tiba-tiba menghilang, seperti anak kecil yang digondol wewe disiang bolong. Anak, istri, keluarga, dan teman-temannya mencari dan bertanya kesan kemari, ke mana Thukul? Tak ada yang dapat memberi tahu, ke mana ia pergi atau di mana ia berada. Hilangnya Wiji Thukul begitu misterius, dan kemisteriusan itu hanyalah bisa diterangkan jika kita percaya bahwa dalam sejarah kita ini memang ada momok hiyong, hantu jahat tak kelihatan,yang bisa memakan darah rakyat, dan sekarang korbannya adalah pejuang rakyat bernama Wiji Thkul. Karena momok hiyong adalah roh jahat yang tak kelihatan, maka ia juga membuat kabur tak kasat mata dan memisteriuskan semua peristiwa yang berkaitan dengan hilangnya Wiji Thukul.

Pelawan Kelupaan
Momok hiyong berusaha menutupi segala kejahatannya dengan upaya agar kita melupakan Wiji Thukul. Tapi siapa mau mengalah pada upayanya yang ingin membuat kita lupa? Sekarang ini masih banyak yangsadar, dan mau ingat akan Wiji Thukul. Betapa susah melawan kemisteriusan dan kelicikan momok hiyong, manusia-manusia ini tak berputus asa dalam mencari kepastian, ke mana dan di mana sebenarnya, Wiji Thukul. Momok hiyong adalah pecinta kematian, sementara manusia-manusia itu adalah orang-orang yang mencintai kehidupan. Kematian harus dilawan dengan kehidupan. Maka mereka tidak mau di bohongi dengan tipuan momok hiyong seakan Wiji Thukul telah mati. Mereka tetap percaya bahwa Wiji Thukul hidup. Karena itu mereka tetap menanti dan mengurus kedatangannya kembali.
Perjuangan mereka ini seakan sia-sia, namun sekurang-kurangnya mereka inilah kelompok manusia yang mau melawan lupa atau kelupaan, dan membuat sejarah ini tidak menjadi lupa.
Orang pertama yang melawan momok hiyong, biang kerok pelupaan itu, adalah Si Pon, istri Wiji Thukul sendiri. Si Pon punya pas fotoThukul. Kata SiPon, menunggu itu menyakitkan. Kalau ia lagi rindu suaminya, ia pandangi foto itu, dan ia merasa terhiburkan. Lalu ia minta seorang pelukis untuk melukiskan foto Thukul di atas kanvas. Untuk itu ia membayar Rp 110.000. “ Saya lukiskan foto suami saya, karena saya yakin, suami saya masih ada,” kata Sipon. Si Pon sering memandangi foto itu, dan ia merasa Wiji Thukul masih hidup, karena ia masih mengharap kedatangannya. Seperti Si Pon, kedua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, juga tak berputus asa mengharap kedatangan bapaknya. Tiap kali Si Pon diundang Kontras ke Jakarta untuk bersama-sama menanyakan dan mengusut kasus orang hilang di negri ini, kedua anaknya itu selalu berharap, bahwa ia akan membawa pulang bapaknya yang hilang. “Ibu boleh pergi. Tapi jangan lupa pulangnya, ibu harus membawa bapak,” pesan mereka. “Di Jakarta saya menginap di hotel lumayan megah, di dekat kantor Kontras. Malam hari saya malah tidak dapat tidur, padahal saya tidur di kasur yang enak. Soalnya,saya teringat anak –anak yang tidur dirumah kami yang jelek dan miskin, “tutur Si pon. Sudah berkali-kali Sipon pergi ke Solo ke Jakarta membawa pulang harapan anak-anaknya, toh ia tidak menemukan Wiji Thukul. Di rumah, Si Pon masih mempunyai rekaman suara Wiji Thukul, ketika ia ngamen membacakan puisi-puisinya. Kedua anaknya, Wani dan Fajar, sering menyetel kaset itu pada tape recorder mereka yang sudah butut.
“Kalau merasa lupa akan suara bapaknya, Wani lalu mendengarkan kembali suara bapaknya di dalam kaset itu, “ tutur Si Pon. Si Pon tidak pernah berpikir, kaset itu akan rusak, jika diputar terus menerus . Padahal hanya kaset itu satu-satunyayang ia punya, di mana ia dan anak-anaknya dapat mendengarkan suara Wiji Thukul.Adik Wani, Fajar Merah juga suka mendengarkan kaset itu. Hanya siang itu, ketika Si pon memutar kaset tersebut di depan tamunya, Fajar menangis dan marah-marah, minta supaya kaset itu tidak disetel. “Mungkin ia jengkel dan marah. Sudah sering orang datang kesini, entah wartawan entah seniman entah rekan LSM,dan ia mengharap orang-orang itu bisa membantu membawa pulang bapaknya. Tapi sampai sekarang tak seorang pun dapat membawa bapaknya pulang. Ia jadi bosan dan marah, karena itu melarang orang mendengarkan suara bapaknya,” kata Si Pon.

Bu atmo (68 tahun), ibu Si Pon, yang tinggal di rumah yang sama, bercerita, sering wani maupun fajar bertanya, ”Ora Ngana, jane bapak ki ning endi to, mbah (sebenarnya, bapak ini ke man to, nek). Belum lama ini, seminggu lamanya, menjelang tidur wani selalu menangis, dan bertanya, di mana bapaknya. Bu Atmo jadi sedih, lalu bertanya, “Napa tasih napa mboten to mas, Thukul niku ? (Apakah Thukul itu masih ada atau sudah tidak ada ya Mas?).” Bu Atmo teguh berharap, Thukul menantunya itu, masih hidup dan akan kembali. Ia pernah bermimpi, suatu saat Thukul pulang, memluk si pon, lalu bermain dan bergurau dengan Fajar. Mimpi ini menggembirakan, tapi bagi Bu Atmo, justru menyedihkan. “Mergi, miturut tiyang sepuh, ten npimpekaken tiyang wangsul niku malah tiyange mati (sebab, menurut orang-orang tua, jika kita mengimpikan seseorang yang sedang kembali pulang, orang itu malah mati), ”katanya. Si Pon juga pernah bermimpui buruk. Ia seperti melihat film kekerasan gaya Amerika di televisi. Ada gua tertutup, ke gua tersebut tampak sebuah jembatan mengerikan. Dan dari jembatan itu Si Pon melihat, Thukul disekap dalam gua, lalu di siksa. Ia juga pernah bermimpi , Thukul terbelenggu dalam ruang yang sangat gelap. Si Pon ngeri melihat hal itu. Namun ia malah menafsirkan mimpi itu secara kebalikan nya. Justru karena dalam mimpi Thukul di sekap dan terbelenggu, maka dalam kenyataan ia bebas. “Dengan keyakinan seperti itu, saya menjadi lega, dan yakin Thukul masih hidup dan tidak terjadi peristiwa apa-apa padanya,” tutur Si Pon.

Thukul akan kembali
Si Pon berkontak dengan Thukul terakhir kali pada awal Februari 1998. Itu pun hanya per telpon. Katanya, waktu itu Thukul berada di sekitar stasiun Tugu, Yogyakarta. Sebelumnya, pada hari-hari menjelang natal 1997, Thukul sempat menghubungi Si Pon, juga hanya per telpon. Waktu itu THukul berpesan pada Si Pon,”Sudah setahun aku tidak ketemu anak-anakku. Aku percaya kamu akan selalu menjaga anak-anak kita. ”Si Pon tidak peduli, bahwa bisa saja setelah awal 1997 terjadi apa-apa dengan Thukul. Mungkin ia sudah dihabisi momok hiyong? Bagi Si Pon, pokoknya pesan Thukul terakhir itu adalah janji, bahwa Thukul akan segera kembali. Memang pesan terakhir dari Stasiun Tugu itu seakan sebuah janji kehidupan, bahwa betapa pun Thukul harus hidup dengan penuh kesulitan, tantangan dan siksaan, suatu saat nanti ia toh akan kembali pulang ke pelukan Si Pon lagi, seperti yang pernah di nayanyikannya dalam puisinya ini:

gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-dendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
akau tak ada (seminggu sudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari dari yang kalian harapkan)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit

genap ½ tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata

aku pasti pulang
mungkin tengah malam ini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu

aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
karena hak telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun mereka masuki
muka kita sudah diinjak

kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi di paksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang kau cari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya yang dirampas dan dicuri

(catatan, 15 Januari 1997)

Suaminya pasti pulang, entah malam, entah subuh hari. Itulah yang membuat si Pon berhati pasti, tiada sia-sialah saat menanti. Itu pula yang membuat Si Pon tak mau terkena bujukan momok hiyong yang mau melupakan dan menghapus jejak hilangnya suaminya. Tapi Si Pon tahu, menanti tidaklah berarti menunggu beroangku tangan berongkang kaki bersedih hati. Menunggu berarti membrontak, dan melawan. Di sinilah Si Pon sadar, ia kawin bukan dengan seorang suami yang bakal membahagiakandan membuatnya aman sentosa. Suaminya hanyalah orang miskin, dan sahabat-sahabatnya hanyalah kaum miskin pula. Si Pon bisa merasakan kata-kata itu, karena ia juga buruh seperti teman-teman suaminya itu. Jadi ia tidak asing dengan kemiskinan itu. Namun lebih dari itu, ia juga sadar, bahwa ia telah kawin dengan seorang suami yang suka mencipta kata-kata, yang bisa menjadi musuh momok hiyong. Bahkan Si Pon sadar, bahwa suaminya adalah pelawan, dan penjara pun tak mampu mendidiknya menjadi patuh “. Tentang hal itu sebenarnya, Atmo Juari, ayahnya sudah mengingatkannya. Atmo Juari yang kini telah almarhum Adalah bekas tentara pejuang. Karena itu ia bisa membayangkan nasib menantunya, Wiji Thukul yang pelawan itu. Ketika situasi masih aman, si Pon sudah diingatkan ayahnya, Atmo Juari, “Kawin karo Thukul, kowe kudu wis siap kelangan (jika kamu kawin dengan Thukul, kamu sudah harus siap kehilangan, dia).” Begitu ibunya, Bu Atmo, mengulang peringatan itu. Kepada Thukul, Atmo Juari pernah juga bercerita, karena rindu istri ia menyempatkan pulang dari perjuangan. Gara-gara kerinduannya ia ditangkap musuh. Maka nasihatnya pada Thukul, “Tekadmu harus tegas,jangan sampai lemah hati, tergoda menengok istri ketika sedang berjuang. “Thukul sangat menyayangi Atmo Juari seperti ayahnya sendiri. Suatu hari ia membawa uang untuk menanbah modal ayah menantu yang tukang rombeng itu. Tapi waktu itu Atmo Juari sedang sakit. Tutur Bu Atmo, “arta mandhap, pake mati. Kenging ngragati leh mati (uang turun, bapak mati. Uang itu dapat membiayai kematiannya)”.
Nasihat ayahnya tersebut selalu terngiang-ngiang ditelinga Si Pon. Karenanya ia tidak mau menyerah. Pernah ia diintrogasi di Komando Resor Militer Jebres. Ia ditanya tentang Thukul dan segala aktivitasnya, lebih sehubungan dengan demonstrasi buruh. Si Pon menjawab “saya tidak tahu”. Petugas-petugas keamanan bergantian memaksa dia menjawab seperti yang mereka inginkan. Si Pon tetap kukuh pada jawabannya. Mungkin jengkel, seorang petugas memukul Si Pon dengan kenop. Pemeriksaan terus berjalan hampir empat jam. Waktu itu Si Pon membawa Fajar yang masih balita dalam gendongannya. Karena ia sudah tidak tahan, ia menggigit punggung Fajar sampai ia kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Dengan cara ini, ia diperkenankan pulang dan terbebas dari intrograsi yang melelahkan.
Betapa pun tegar hatinya, Si Pon pernah luluh dan sedih, apalagi bila merasakan kerinduan kedua anaknya akan bapaknya. Pernah adik Wiji, Wahyu namanya, datang dari Jakarta, dan menginap semalam dirumahnya. Dan Wahyu membelikan mainan untuk Fajar Merah. Fajar senang sekali dan bilang pada wahyu, “Aja mulih, lek, kowe nggo ganti bapak wae (jangan pulang, paman, kamu ganti bapak saja).” Hati saya hancur mendengar rengekan itu. Saya merasa, betapa anak saya benar-benar merindukan bapaknya,” kata si Pon .
Si Pon juga sedih melihat anaknya harus disingkiri hanya karena mereka adalah anak wiji Thukul, yang dianggap penjahat negaraitu. Ia melihat, wani suka menulis-nulis.Kalau ia tidak bisa tidur, ia pasti bangun lalu menulis. Pernah si Pon mencuri-curi membaca rilisan Wani. Dalam salah satu tulisannya Wani mengeluh kurang lebih begini : Apa toh politik itu ? Saya tidak mengerti politik, tapi saya kira politik itu kejam, dan orang tua itu sungguh egois, saya punya sahabat, bapaknya Golkar. Bapak itu melarang anaknya bermain dengan saya. Kalau kesini, anak itu harus mencuri-curi. “Saya juga sering melihat wani tiba-tiba menangis. Saya meraba-raba, mungkinkah ia salah paham dengan saya ? Saya tidak tahu. Mungkin ia teringat bapaknya, dan sedih akan nasibnya,” kata Si Pon. Tangis Wani di waktu malam itu mengingatkan Si Pon akan Thukul. Pernah Thukul tiba-tiba menangis. Ternyata Thukul sedang menulis sajak tentang penderitaan penduduk Cimacan yang di rampas tanahnya dan hanya mendapat ganti Rp 30 (tiga puluh rupiah!) per meter:

bulan malam membuka mataku
merambati wuwungan rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
di muka parit yang suka banjir
membayanglah masa depan
rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
lentera minyak gemetar merabamu
penggembara oh penggembara yang nyenyak
bulan malam menggigit batinku
mulutnya lembut seperti pendeta tua
menggulurkan lontaran nasibmu
o tanah-tanah yang segera rata
berubahlah menjadi pabrik-pabriknya
kita pun kembali bergerak seperti jamur
liar di pinggir-pinggir kali
menjarah tanah-tanah kosong
mencari tanah pemukiman disini
beranak cucu melahirkan anak suku-suku terasing
yang akrab derngan peluh dan matahari
di tanah negri ini milikmu cuma tanah air

(Di Tanah Negeri ini Milikmu Cuma Tanah Air, tanpa tahun)

Si Pon tidak bisa melarangt jika anak-anaknya tidak suka bahkan membenci tentara atau polisi. Maklum, anaknya merasa, merekalah yang menculik bapaknya. Dan keuda anak itu merasakan sendiri kekasaran aparat keamanan ketika menggeledah rumah mencari Thukul. Yhukul adalah pengasuh Sanggar Suka Banjir, tempat anak-anak miskin melukis. Waktu itu lukisan-lukisan anak pun disita, termasuk lukisan yang ditulisi nama Wani, karena Wani adalah pelukisnya. Membaca nama wani, seorang petugas membentak keras, “Apa-apaan ini? masih kecil sudah diajari berani melawan negara.” Wani memang berarti berani. Tapi tak ada kaitan lukisan itu dengan keberanian melawan negara. Wani hanyalah sebuah nama saja. Dan anak beranama Wani itu melihat sendiri, betapa konyol kelakuan aparat keamanan itu dan betapa cupet pikirannya. Hal itu dikenangnya sebagai kenangan pahit sampai kini.
Seperti Wani, Fajar juga tidak suka dan nyaris membenci polisi. Pernah Si Pon mengajak kejalan Slamet Riyadi, dan melihat kebetulan polisi sedang latihan. “Untuk apa polisi latihan menembak?” tanya Fajar. Dan sebelum Si Pon menjawab, anak itu sudah menjawab sendiri, “Ternyata untuk menembaki mahasiswa, ya bu?” Maklum, menjelang Reformasi, Fajar sering melihat televisi, di mana polisi mengacung-acungkan senapannya ke arah mahasiswa yang berdemonstrasi. Pernah juga Si Pon dan fajar pergi ke pasar Gedhe, dan ketemu seorang lelaki Lelaki itu ternyata adalah polisi, yang pernah dilihat Fajar. Fajar membaca nama yang tertera di dada baju seragam polisi itu. Diam-diam Fajar menghapalkan nama itu.
Ketika ketemu kembali di pasar Gedhe, Fajat melihat polisi tersebut tidak pakai seragam. Toh Fajar masih mengingatnya dan bilang pada ibunya, “Ternyata dia lebih tampan dan bagus kalau tidak memakai seragam polisi, ya bu,” Anak kecil itu tidak tahu apa-apa tentang kekerasan dan politik. Ia hanya tahu, ia membutuhkan bapaknya,dan bapak yang dibutuhkan itu ternyata di ambi polisi, dan sampai sekarang belum dikembalikan. Pantas kalau ia jadi benci polisi, sampai seragamnya pun ia tidak suka lagi. “Lare niki nek kaleh polisi pancen benci (Terhadap polisi anak ini memang benci),” kata Bu Atmo tentang cucunya. Betapa kesewenang-wenangan telah menanamkan rasa benci pada anak yang belum waktunya tahu tentang benci-membenci. Ada juga kebiasaan aneh dan lucu pada Fajar, sejak bapaknya diculik. Tiap kali anak itubertemu dengan aparat yang berpakaian loreng, ia selalu berusaha mendekatinya, lalu melipat tangannya, dan mengucap kata-kata, “Jambore-jambore, bar (Jambore-jambore, selesai).” “Kowe ike ngomong apa to, le ? (kamu ini bicara apa, nak),” begitu tanya Si Pon mau pun Bu Atmo tiap kali mendengar Fajar bergumam saat ia melihat orang berpakaian loreng. Memang ibu dan neneknya sampai sekarang pun tak mengerti, apa maksud kata-kata itu, dan Fajar pun tak mau menerangkannya. Anak ini seperti punya mantra sendiri menghadapi mereka yang berpakaian tentara. Mantra singkat itu mungkin menyimpan sikap yang dipunyai ayahnya:
.....
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka akan kuceritakan kepada semua makhluk
bahwa sepanjang umurmu dulu
telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim

(Puisi sikap, 24 Januari 1997)

jambore-jambore, bar
tankmu, bedilmu, seragammu
kau kira aku takut padamu,
hei momok hiyong !

Siapa tahu, mungkin mantra itulah yang terkandung dalam ucapan Fajar, setiap kali ia takut berhadapan dengan orang yang berpakaian loreng, yang baginya adalah momok hiyong?

Pengharapan yang teguh
Momok hiyong itu tak kelihatan. Salah jika kita hendak menangkapnya dengan cara-cara yang tak kelihatan pula. Nanti kita makin tertelan dalam ketak terlihatannya. Momok hiyong itu pecinta kematian. Salah jika kita menyerahkan kehidupa padanya. Kita justru harus melawan cintanya akan kematian dengan cinta kita akan kehidupan. Itulah yang dibuat Si Pon. Kendati ia di beri tahu, percuma segala upayanya menanti suaminya kembali, ia tetap menanti dengan tabah. Kendati ia pernah ragu, jangan-jangan suaminya telah tiada, ia yakinkan dirinya bahwa suaminya masih ada, dan suatu saat nanti akan kembali.
Hanya ada satu kata; LAWAN ! itulah pesan suaminya, Wiji Thukul, bagi siapa saja yang jadi korban kekejaman momok hiyong. Dan Si Pon mempraktekan semboyan itu dalam hidupnya.
Karena ia mau tetap bertahan hidup, tak mau menyerah, kendati ia perempuan yang miskin, lemah, dan tak berdaya. Dan sikap ini ditunjukannya dengan kerja keras. Pagi malam ia menjahit. Tempat ia menjahit bernama “Nganti Fashion”. Nama yang mengambil nama anaknya perempuan ini adalah tinggalan suaminya, Wiji Thukul. Di tempat itu, Si Pon menerima jahitan, tapi juga menjual hasil jahitan. Satu celana hasil jahitannya. Berharga Rp. 8.000, dipasar ia menjualnya Rp 9.000. lumayan jika ada yang menjahitkan padanya, ia mendapat uang tambahan. Si Pon seorang penjahit. Maka sesungguhnya ia bisa menjahit sendiri bajunya. Namun sampai sekarang ia tetap mengharapkan baju yang dijanjikan Wiji Thukul. Katanya, baju itu akan segera datang, tapi sampai sekarang mengapa belum juga ia menerimanya.
“sampai sekarang baju itu belum saya terima. Mungkin baju itu masih dibawa Thukul, ”kata si Pon. Si pon tidak mau menyerah. Ia tetap mengharap, nanti suatu saat Thukul pulang, dan membawa baju loak sobek pundaknya, yang dijanjikannya. Sekuat itu harapan Si pon. Dan dengan harapan itulah Si Pon diam-diam mengajari kita untuk tidak mau mengalah pada momok hiyong. Dengan harapan yang diwujudkan secara nyata dalam hidup sehari-hari itulah Si Pon mengajak kita untuk melawan momok hiyong yang sewenang-wenang dengan kuasanya, yang ternyata memakan korban orang-orang tak bersalah, seperti SiPon sendiri dan kedua anaknya. Dengan harapan itu Si Pon mengajak kita untuk berjuang melawan momok hiyong yang suka menutupi dan melupakan kejahatannya, yang telah menghilangkan orang tanpa jejak apa pun. Dalam harapan Si Pon itulah tampak suatu perjuangan melawan momok hiyong, roh melik nggendhong lali yang telah menyejarah secara nyata dalam riwayat negara ini.

Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul
Oleh Alex R. Nainggolan

Penerbitan ulang kumpulan puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru oleh Indonesiatera, barangkali sedikit unik. Di tengah riuh reformasi, di mana keran kebebasan ekspresi seni yang terbuka lebar, puisi-puisi Thukul, yang acapkali bernada protes itu, mungkin terkesan biasa, bahkan tak ada artinya sama sekali. Kita pun sama-sama tahu, jauh sebelum Thukul menulis sejumlah puisi yang bernada kecaman, W.S. Rendra, di paruh dekade 70-an sudah menuliskan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, atau Emha Ainun Nadjib dengan Sesobek Catatan Buat Indonesia. Kegeraman para penyair itu, merupakan saksi abadi, yang membungkus segala ketimpangan sekaligus protes terhadap kondisi sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Kegeraman semacam itu, dengan mencoba untuk memotret gap-gap di sekeliling, terangkum pula dengan pelbagai tema, baik itu kaya-miskin, baik-jahat, kediktatoran, kesewenangan kekuasaan. Memang pijakan awal dari semua denyut aura kalimat yang tumbuh berpusat pada kekuasaan (power) di mana segala keinginan untuk tetap mempertahankan kursi, yang ternyata tak selamanya mulus. Seandainya para penguasa mendengarkan suara-suara bawah, tentu ia akan memperbaiki, dengan mempertimbangkan dan melakukan koreksi dari dalam. Tapi ternyata para penguasa cenderung amnesia untuk sekadar menghiraukan suara-suara ”sumbang” tersebut.
Kegeraman yang ditulis para penyair, semacam Thukul, Emha, dan Rendra, yang ternyata memilih untuk bertindak sebagai penyaksi. Penyair, bagaimanapun seseorang yang menciptakan dunianya sendiri, dunia dari karya-karyanya. Tetapi ia pun bertindak dalam posisi yang tak pernah mungkin untuk lepas dari realitas. Sajak-sajak yang bernuansa protes sosial, terkadang cenderung mengeluarkan penyair dari dunianya. Meskipun demikian, sajak-sajak protes juga tak tinggal diam, bukan sekadar menjelma jadi pamflet yang gelap, sebagaimana iklan di televisi akhir-akhir ini. Katakanlah sajak-sajak serupa itu ditulis di periode saat ini, ketika euforia kebebasan menggema merupakan susunan bunyi yang ganjil, tentu akan diacuhkan begitu saja. Akan tetapi penyair-penyair sebelumnya, yang bertindak sebagai ”penyaksi” yang berhadapan dengan cermin realitas yang bobrok, melakukan jauh sebelum keran demokrasi negeri ini terbuka bebas. Dan, Thukul adalah salah seorangnya. Sajak-sajak yang terangkum dalam Aku Ingin Jadi Peluru terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai sangat biasa, bahkan lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Namun yang tergambar di sana ialah sebuah kesederhanaan yang memancar. Lewat kata-kata yang umumnya kita jumpai sehari-hari, Thukul seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan memosisikan dirinya sebagai yang terlibat di dalam (insider). Puisi-puisi yang ditulisnya menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan-pertanyaan satire—yang menuju sebuah muara bagaimanapun dalam peristiwa politik, kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi korban. Sudah barang tentu, lingkungan kondisi masyarakat golongan ekonomi ke bawah cukup akrab di mata Thukul. Melalui puisi ia berjuang, sekadar melakukan ”penggugatan”, dan perjuangan yang dilakukan olehnya tidak hanya berhenti hanya sebatas diksi dalam puisi, melainkan juga melebar dalam kegiatan nyata di mana ia juga bergabung dalam sebuah gerakan yang memperjuangkan kebebasan orang-orang sipil bersama mahasiswa.
Thukul seperti ingin menegaskan jika seorang penyair, tidak hidup sendirian. Meminjam Afrizal Malna, seorang penyair juga hidup bersama masyarakat luas. Cerminan karya yang dihasilkan tidak akan jauh dari lingkungan di mana ia tinggal. Suatu hal yang mengingatkan pula bagaimana Arief Budiman menghidupkan sastra kontekstual yang sempat menjadi perbincangan hangat di ranah sastra Indonesia.
Meskipun pada bagian lain, antara karya dan penyair memerlukan suatu ”jarak” yang aman. Bagaimana puisi dan penyair mampu memilah realitas, sehingga menciptakan dunia sendiri: imajinasi. Sebuah batas yang memang tak bisa ditarik secara gamblang, tetapi setidaknya dalam berkarya para penyair (sastrawan) juga berpijak dalam realitas tersebut. Sehingga tidak hanya sekadar berdiri sendiri, hidup dalam menara gading imajinasinya sendiri saja.

Lima Bagian
Buku ini dipilah menjadi lima bagian, ditambahkan pula lima buah puisi baru dalam edisi cetak ulang ini. Bagian pertama: Lingkungan Kita Si Mulut Besar, kedua Ketika Rakyat Pergi, ketiga Darman dan Lain-Lain, keempat Puisi Pelo, dan kelima adalah Baju Loak Pundaknya. Dalam majalah Basis, Yogyakarta pernah pula diangkat masalah puisi Momok Hiyong, yang menjadi sentral perjalanan hidup Wiji Thukul. Tragedi-tragedi kemanusiaan yang selama ini ditutupi kembali terkuak dengan membaca kumpulan ini. sebuah protes dari masyarakat biasa, yang mencoba menegakkan kembali hakikat kemanusiaan.
Banyak judul puisi yang terkumpul memakai kata Catatan, saya kira memang Thukul bermaksud untuk mencatat secara garis besar realitas keseharian yang ditemuinya. Berbagai potret kegetiran hidup hadir terkuak semacam ongkos yang mahal di sebuah puskesmas, kehidupan buruh yang sengsara, atau ketika kesenian tak lagi bisa menjadi pegangan hidup. Sejumlah kesaksian yang begitu tegar, getir, dan siap menjadi pisau. Ternyata hidup tidak hanya berisi kesenangan semata, sebagaimana yang tertuang dalam acara sinetron di layar televisi kita. Thukul memaparkan pula, bagaimana ia mencintai perempuan, dengan bermodal baju yang loak pundaknya.
Pemakaian simbol binatang banyak pula hadir, simak dalam sajak Tikus—bagaimana Thukul mencoba menggugat tentang kekalahan si ”kecil” dengan yang ”besar”. Kita pun dihadapi dalam sebuah hukum rimba, siapa yang menang dialah yang berkuasa: seekor tikus/pecah perutnya/terburai isinya/berhamburan dagingnya//seekor tikus mampus/dilindas kendaraan/tergeletak/di tengah jalan/kaki dan ekornya terpisah dari badan/darah dan bangkainya/menguap/bersama panas aspal hitam//siapa suka/melihat manusia dibunuh/semena-mena/ususnya terburai tangannya terkulai/seperti tikus selokan/mampus/digebuk/dibuang/di jalan/dilindas kendaraan//kekuasaan sering jauh lebih ganas/ketimbang harimau hutan yang buas/korbannya berjatuhan/seperti tikus-tikus/kadang tak berkubur/tak tercatat/seperti tikus/dilindas/kendaraan lewat…
Sajak ini ditutup dengan pertanyaan yang bersedia. Thukul seperti mempertanyakan lagi naluri kemanusiaan bagi orang-orang yang kerjanya menindas:kau bersedia/diumpamakan/ seperti tikus?
Kekerasan demi kekerasan terus saja diabadikan, Thukul seperti membingkainya dengan mencatat keseharian, sikap dirinya, pernyataan yang tak mau ”menolak patuh”, tentunya lewat puisi. Perlawanan yang tak berkesudahan diungkap, dan Thukul bersedia menjadi martir untuk itu. Inilah salah satu kelebihan Thukul, puisi-puisi yang ditulisnya bukan hanya sekadar bermodal dengkul semata. Ia piawai menggabungkan keseharian yang acapkali luput dari perhatian kita, namun tak bisa kita ingkari. Suatu hal yang mengingatkan saya pada gaya-gaya nyeleneh, baik yang tertulis di kaus oblong atau lirik-lirik lagu gaya anak muda. Lirik-lirik itu pun tetap menohok realitas sekelilingnya, walaupun Thukul memakai diksi yang lebih ”keras” lagi. Hal lain yang kembali menerawangkan ingatan saya pada puisi-puisi epik Pablo Neruda, menyandingkannya bagaimana perlawanan yang ditawarkan kedua penyair ini hampir sama.
Dalam Bunga dan Tembok tampak juga bagaimana Thukul menghardik kekuasaan tiran:…jika kami bunga/engkau adalah tembok/tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan:engkau harus hancur!//dalam keyakinan kami/di mana pun –tirani harus tumbang! Sikap dirinya sebagai seorang penulis juga tergambar dalam puisi lainnya di Puisi di Kamar:…tak menyerah aku pada tipudaya bahasamu/yang keruh dan penuh genangan darah/aku menulis aku penulis terus menulis/sekalipun teror mengepung.
Demikianlah, Thukul, dalam menulis puisi juga berusaha untuk tidak terlalu menghiraukan para kritikus sastra. Dalam pengantarnya, Thukul menulis bahwa dalam penciptaan puisi penyair hanya tergantung kepada diri sendiri. Mungkin kritikus ada juga fungsinya. Tetapi, kritikus bagi Thukul cuma nomor empat urutannya. Penyair yang bagus, ialah penyair yang tidak tertekan, sebagaimana berada di dalam bilik pemilu, tanpa tekanan, bebas, tidak dipilihkan, melainkan memilih sendiri.
Barangkali, memang benar apa yang diucapkan oleh H.B.Jassin—yang konon terilhami dari negarawan besar Mahatma Gandhi, semestinya sastra menempatkan posisi sebagai penyaksi zaman dengan prinsip humanisme universal-nya. Kemanusiaan yang menyeluruh, meskipun kita tahu, jauh sebelumnya telah ”menggugat” bagaimana kekuasaan yang timpang tak akan mampu menopang kehidupan berbangsa menjadi lebih baik. Kita pun mencatat, bagaimana Rendra sempat tinggal di balik jeruji, kerapkali dilarang untuk membaca puisinya. Tapi hukuman berbalik yang diterima bagi penguasa yang paranoid terhadap karya sastra memang tak akan bertahan lama. Dan sejarah telah mencatatnya. Thukul merupakan salah seorang dari para pencatat sejarah itu.***

Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta


INDONESIA-L
Suara INDEPENDEN No. 5/I/Oktober-Nopember 1995
Wiji Thukul: "ORDE BARU MEMBERANGUS PIKIRAN RAKYAT"

Wiji Thukul, si penyair demonstran itu, lahir di Kampung Sorogenen, Jebres, Solo, 1963. Seperti mayoritas tetangganya, ayahnya juga seorang tukang becak. Tahun 1982 ia drop-out dari SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), jurusan tari. Pengalaman ini, dan sejumlah pengalaman lainnya -- seperti menjual koran (waktu tinggal di Semarang), buruh/tukang pelitur dikampungnya, bahkan ngamen ke kota-kota lain -- tidak menjadikan dirinya rendah diri.

Pada 1988, Thukul pernah menjadi wartawan di Masa Kini, meski cuma tiga bulan. Dan puisi- puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan luar negeri. Tiga tahun kemudian, bersama dramawan dan penyair WS Rendra, ia menerima penghargaan Wertheim Encourage Award, yang pertama sejak didirikan. Waktu itu penghargaan diberikan langsung oleh Wertheim Stichting di negeri Belanda. Tentang penghargaan ini, Wiji mengaku sempat bangga karena ia menerimanya lebih dulu dibanding Pramudya Ananta Toer.

Perkawinannya dengan Sipon -- buruh pabrik moto (bumbu masak) yang kini jadi penjahit di kampung Kalangan -- dikaruniai dua anak: Ngantiwani dan Fajar Merah. Ia bangga dengan kedua anaknya karena lukisan anaknya dengan tanda tangan Wani, pernah membuat aparat
bertanya-tanya. Bahkan anak pertamanya ini sudah pandai membuat fabel modern yang bagus atas pengalaman tentang penggusuran. Thukul mendirikan dan mengajar di Sanggar Suka Banjir di kampungnya. Bersama-sama dengan orang-orang yang peduli pada rakyat, ia juga
mendirikian Sanggar Lukis di Sragen. Buku-bukunya yang terbit sebagai kumpulan tunggal; Mencari Tanah Lapang; Darman dan Puisi Pelo.
Sedangkan kumpulan puisi bersama, banyak sekali: termasuk yang diterbitkan Kedubes Jerman.

***********************************************************************

Sebagai penyair maupun aktivis, Anda tidak jarang kena cekal, diintimidasi bahkan kena gebuk. Bagaimana pengalaman Anda?
* Sebenarnya masalah cekal-mencekal, pelarangan, pembubaran bahkan intimidasi -- baik terselubung maupun terang-terangan -- adalah masalah kita bersama. Peristiwa semacam itu setiap hari ada di depan kita, di kota mana pun ada. Bahkan ada yang lebih dari itu, seperti
dibunuhnya petani atau rakyat kecil diberbagai tempat: Nipah (Madura), Haur Koneng, Timika, Timtim dan masih banyak lagi. Ini semua adalah masalah sekaligus pengalaman kolektif kita. Penganiayaan-penganiayaan itu adalah masalah dan pengalaman t raumatis kita bersama, terutama masalah rakyat kecil.

* Penganiayaan itu bentuknya macam-macam. Ada bentuk penganiayaan justru melalui teman-teman sendiri. Teman saya seorang pelukis instalasi pernah omong tentang itu. Banyak seniman lukis yang tidak berani melukis realis bukan karena ditakut-takuti tentara atau polisi secara langsung, tetapi melalui teman-temannya sendiri. Kenapa ditakut-takuti temannya sendiri? Karena temannya ini mendapat ketakutan dari temannya yang pernah ditakut-takuti oleh aparat atau mereka yang punya kekuasaan.

Ini gejala apa?
* Inilah salah satu bentuk penindasan yang paling berbahaya. Sebab penindasan yang kita hadapi sekarang ini adalah penindasan yang membuat orang tidak sadar bahwa kita sedang dianiaya, dibungkam tapi tidak merasa dibungkam. Sekarang ini sedang berlangsung secara
sistematis dua macam penjajahan, yaitu penjajahan fisik maupun kesadaran. Dua-duanya bisa kita saksikan dalam waktu bersamaan. Ketika aksi anti pembredelan di Lapangan Monas, seniman Semsar Siahaan dipatahkan kakinya oleh tentara. Ini apa artinya? S ebenarnya yang
dipatahkan bukan cuma kaki Semsar tapi ide-ide demokrasi, ide-ide untuk menyatakan kemerdekaan berpendapatlah yang dibunuh.

Kalau ide itu sudah mati, apa artinya?
* Artinya .... Orde Baru berhasil memberangus pikiran rakyat secara sistematis dan efektif. Koran Pikiran Rakyat memang masih ada, ya? Ha...ha...ha...ha.... Maksud saya, kalau kesadaran itu sudah mati ini pertanda bahwa pikiran rakyat sudah diberangus betul-betul.

Tetapi ide-ide demokrasi di negeri ini atau di mana pun apa bisa benar-benar dihapus?
* Kalau melihat semakin banyaknya aksi-aksi di sana-sini, saya nggak yakin bahwa ide-ide demokrasi benar-benar bisa diberangus. Disana-sini perlawanan sudah menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Tahun kemarin saja kita mencatat ada 80 kali aksi mahasiswa. Yang dilakukan oleh buruh, ditambah petani, bahkan sampai ratusan. Ini bentuk perlawanan terhadap penindasan yang kita alami bersama yang bisa dilihat dengan mata. Tetapi kalau sekarang masih banyak yang diam, mungkin ada yang tidak beres.

Kenapa Anda menolak undangan baca puisi HUT ABRI di Solo?
* Itu pernyataan sikap saya, dan bukan satu hal yang berani atau heroik. Bagi saya itu hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang hidupnya terus-menerus dibayang-bayangi ketakutan, diintimidasi oleh pihak-pihak yang menindas kita. Siapa pun kita, kita harus bersuara menghadapi hal semacam itu. Sebagai penyair maupun pribadi saya merasa punya tanggung jawab. Kalau saya datang, akan mengombang-ambingkan massa. Massa jadi bingung. Kalau anda penyair, karya anda dibaca banyak orang.

* Karena itu anda harus jujur dan mempertanggungjawabkan sikap anda kepada banyak orang seperti yang anda katakan lewat karya anda. Tanggungjawab bahwa anda itu merdeka dan tidak mau dimanipulasi. Kalau sikap anda tidak jelas, pembaca anda akan jadi bingung dan bertanya-tanya, "Wiji Thukul itu bagaimana sih. Omongnya lawan! lawan! tapi kok rangkul- rangkulan sama orang yang menindas".

Bukankah undangan itu bisa dijadikan tempat mengekspresikan karya dan sikap Anda?
* Bisa jadi seperti itu. Tetapi itu juga momen yang baik bagi pengundang untuk membikin imej di depan orang banyak bahwa mereka mulai terbuka dan demokratis. Mereka bisa bilang, "Wong Wiji Thukul yang biasa bengok-bengok, biasa protes, suka ikut aksi saja diundang
kok. Kami kan baik mau mendengarkan dan memberi kesempatan orang lain termasuk yang suka protes". Ini kan bisa membingungkan orang banyak.

Karya Anda digolongkan sebagai puisi pinggiran, tidak indah, malah vulgar. Tanggapan Anda?
* Puisi-puisi saya memang banyak beredar di kalangan aktivis maupun orang kecil, dan memang sangat khas dan cocok untuk orang-orang bawah. Karena puisi-puisi naratif lebih bicara dan komunikatif dalam berbagai pertemuan untuk membicarakan masalah mereka, dibanding puisi-puisi absurd atau yang multi interpretable.

* Jadi kalau dulu ada karya sastra yang dianggap liar, sekarang pun ada. Dan saya kira sepanjang sejarah dalam berbagai bidang kehidupan tertutama politik akan terus ada yang dianggap liar dan ada yang terus menjaga kemapanannya dengan cara menciptakan serta menjaga kata liar atau kata-kata lain.

Saat menulis puisi, seseorang pasti memasuki pergulatan atau perdebatan estetika. Sejauh mana formulasi tentang kebebasan estetika dalam kaitannya dengan media yang Anda pilih?
* Bagi saya berpuisi itu erat sekali dengan pengalaman hidup terutama yang dirasakan penulisnya. Juga berbagai pengalaman atas jagad kata ditambah reaksi-reaksi yang muncul atas kata-kata yang digubahnya. Proses kreatif saya juga bertitik tolak dari pengalaman di samping
pandangan bahwa keindahan itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman.

Punya pengalaman yang lebih konkret?
* Agustus 1982, saya diundang baca puisi di sebuah kampung di Solo dalam acara 17-an. Puisi yang saya baca adalah puisi yang saya buat spontan. Di luar dugaan puisi itu bikin geger orang sekelurahan. Puisinya pendek dan sederhana. Tapi puisinya memang medeni. Judulnya
Kemerdekaan Tahun 1982. Isinya, /Kemerdekaan adalah nasi/ Dimakan jadi tai/. Cuma begitu. Singkat sekali. Tapi apa yang terjadi? Paginya, semua panitia dipanggil ke kelurahan.

Apa yang Anda temukan dari peristiwa ini?
* Bagi saya peristiwa ini adalah pengalaman keindahan. Ketika puisi itu saya bacakan, saya lihat orang betul-betul menikmati "kekurangajaran" saya. Saya mendengar komentar dari mereka, "Ya wis ra apa-apa. Pisan-pisan lurah ya digawe bingung," Dari sini saya menangkap adanya suatu perasaan bersama orang kecil di kampung.
Selain pengalaman keindahan saya mulai melihat kedahsyatan kekuatan kata-kata.

Jadi kata-kata penyair itu punya kelebihan?
* Mungkin begitu. Suatu hari saya ke Yogya untuk menengok seorang teman. Sampai di Malioboro, saya melihat sedang ada demo di Gedung DPRD yang dilakukan oleh para petani. Saya kaget sekali waktu melihat salah satu poster yang mereka bawa berisi kutipan atas baris puisi saya yang berbunyi, Hanya ada satu kata: lawan! Saya lalu berpikir, ini apa? Saya lalu merasa bahwa kata-kata yang ditulis penyair secara jujur betul-betul kata-kata sejati.


Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
Oleh: Wiji Thukul

aku bukan artis pembuat berita
tapi memang
aku selalu kabar buruk
buat para penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat
dan berdesakan mencari jalan

ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ia tak mati-mati
telah kubayar apa yang dia minta
umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
:kau masih hidup!

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

18 juni 1997

Catatan Subversif Tahun 1998
-disebabkan oleh Wiji Thukul

kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan-ikan di sungai
kampung tercinta

karena kau adalah kemarau
maka airmata kami akan
menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit, jadi awan-awan
dan dengarlah gemuruh kami
sebagai hujan turun

mengusirmu dari sini!

Darman

desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak nasibnya
tetapi ia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis direguknya
Tukini setia terlanjur jadi bininya
kini Darman digantungi lima jiwa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah lelaki
perkasa, ya Darman kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam penjara
Tukini setia menangisi keperkasaannya

ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang belum lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang kolera

Tukini yang hamil buncit perutnya
nyawa di kandungan anak kelima


Dari: Inside Indonesia,
no. 12 october 1987

Jakarta simpang siur
ormas-ormas tiarap
tiap dengar berita
pasti ada aktivis ditangkap

telepon-telepon disadap
koran-koran disumbat
rakyat was-was dan pengap

diam-diam orang cari informasi
dari radio luar negeri

"jangan percaya
pada berita mass media cetak
dan elektronika asing!"

Penguasa berteriak-teriak setiap hari
nasionalismenya mirip-mirip Nazi

Agustus 1996

Note:
Puisi ini belum diberi judul oleh Wiji Thukul.

Sajak-sajak bawah tanah Wiji Thukul

(1)

kekuasaan yang sewenang-wenang
membuat rakyat selalu berjaga-jaga
dan tak bisa tidur tenang
sampai mereka sendiri lupa
batas usianya tiba

dan dalam diamnya
rakyat ternyata bekerja
menyiapkan liang kuburnya
lalu mereka bersorak

ini kami siapkan untukmu tiran!

penguasa yang lalim
ketika mati tak ditangisi rakyatnya

sungguh memilukan
kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan

11 Agustus 1996


(2)

Para jendral marah-marah

Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi.
Tapi aku tidur. Istriku yang menonton.
Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.

Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya.
Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa?
Hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya:
"Namamu di televisi..."
Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.

Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu
sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak.
Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.

Setelah menjemur handuk aku ke dapur.
Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu,
telah meletakkan gelas
berisi teh manis.
Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu,
dalam posisi yang gampang diambil.

Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali

kalimat itu meluncur, "namamu di televisi..."
Ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bau kekejaman kekuasaan itu daripada aku.

12 Agustus 1996

(3)

wani
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"

kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetanggamu kanan-kiri datang
dan mengira ada pencuri masuk rumah kita